Rabu, 08 Juli 2009

ASAL USUL DESA BINCAU

Desa Bincau tentu tidak asing lagi di telinga Anda. Ini adalah tempat rekreasi, tambak ikan untuk makan bersama keluarga. Tentunya wisata kuliner ini sangat dikenal oleh masyarakat Martapura, Banjarbaru, Banjarmasin bahkan daerah Hulu Sungai. Ditambah dengan pesatnya pembangunan perumahan di Martapura di daerah ini menambah minat orang untuk bertempat tinggal di daerah yang bernama Bincau ini. Bahkan nama Bincau bertambah kemasyurannya setelah dibangun SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) kabupaten Banjar. Tetapi pasti banyak yang belum mengetahui sejarah tentang desa ini, terutama mengapa diberi nama Bincau. Asal usulnya adalah sebagai berikut :
Ada sebuah desa yang termasuk paling tua di kabupaten Banjar. Zaman dahulu di desa ini terdapat pelabuhan yang besar sehingga banyak kapal besar yang dapat berlabuh. Banyak pedagang – pedagang luar yang menjual barangnya di pelabuhan ini. Tetapi ada juga para saudagar yang membeli barang-barang yang dihasilkan oleh desa. Sehingga desa ini sangat ramai dikunjungi oleh orang.
Pada suatu hari datanglah 2 (dua) orang bersaudara dari Tiongkok yang berdagang dan menetap di desa. Salah satu saudagar kaya ini memiliki anak perempuan yang sangat cantik parasnya sehingga menjadi kembang di desanya.
Namun anak saudagar ini pekerjaanya sehari-hari hanya berdandan dan bersolek saja sehingga menjengkelkan kedua hati orang tuanya.
Suatu hari sang ayah tidak tahan lagi melihat perilaku anaknya yang suka bermalas-malasan. Akhirnya keluarlah kata-kata kutukan sehingga anaknya berubah menjadi kera. Yang pada akhirnya menjadi legenda rakyat yaitu legenda telaga puteri.
Setelah saudagar ini menetap lama di desa yang belum ada namanya ini, maka semakin banyak rumah-rumah yang berdiri. Saudagar kaya ini sangat terkenal sekali, tidak hanya di desa tetapi juga sampai kedaerah luar.
2 Saudagar ini mempunyai nama yang mirip. Sang kakak bernama Being Tjiow dan sang adik bernama Being Louw. Karena desa ini belum ada namanya maka ketika orang mau berkunjung kedesa ini kalau ditanya ”mau kemana ?” maka akan dijawab ”mau kedesa Bieng Tjiow. Maksudnya desa yang ditinggali oleh saudagar ini. Dan lama kelamaan akhirnya orang menyebutnya dengan ”Desa Bincau”.
Sedangkan nama adiknya menjadi nama desa yang berdampingan dengan desa Bincau yaitu desa Binglu. Yaitu berasal dari nama Being Louw.
Demikianlah cerita asal usul nama desa Bincau yang terdapat di Kabupaten Banjar kota Martapura. Saya harap jika Anda berkunjung ke Tambak Bincau tentu ingat cerita ini. Dan membagi cerita bersama sanak keluarga yang lain. Ingat ikan bakar, ingat Bincau, ingat asal usulnya......

Minggu, 05 Juli 2009

Budaya membaca, menulis dan ngeblok di sekolah

Sumber :http://www.blogcatalog.com
oleh : nugieshare

Bahkan di dunia pendidikan seperti sekolah ataupun kampus, budaya membaca, menulis dan ngeblog masih merupakan barang yang langka. Di tingkat sekolah, yaitu sekolah es-de, es-em-pe, atau es-em-a, serangkaian budaya baca-tulis, apalagi dengan menggunakan fasilitas internet mungkin bisa ditemui di sekolah-sekolah yang menerapkan program ‘pendidikan bermutu’ saja yang antusias menjalankannya. Itupun dengan perbandingan yang tidak berimbang dengan banyaknya jumlah sekolah yang ada. Masih jarang sekolah yang memiliki fasilitas perpustakaan yang layak. Juga sedikit sekolah yang selalu berani memajang hasil karya tulis siswa di mading kelas atau mading sekolah. Budaya baca-tulis masih dianggap sepi oleh banyak kalangan pendidikan. Minimnya antusiasme pengembangan budaya baca tulis ini berlanjut sampai ke jenjang perguruan tinggi.

Legenda Gunung Batu Bangkai

by: (Pahmi Rohliansyah)

sumber cerita : http://adoem-poeboe84.blogspot.com/

Loksado adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Di daerah ini terdapat sebuah gunung yang memiliki nama yang cukup unik, yaitu Gunung Batu Bangkai. Masyarakat setempat menamakannya demikian, karena di gunung tersebut ada sebuah batu yang mirip dengan bangkai manusia. Konon, kehadiran batu bangkai tersebut berasal dari sebuah cerita legenda yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Banjar Hulu di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Cerita legenda ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Andung Kuswara yang durhaka kepada umanya. Karena kedurhakaannya, Tuhan menghukum si Andung menjadi batu.

Konon pada zaman dahulu, di suatu tempat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pintar mengobati orang sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari abahnya yang sudah lama meninggal. Andung dan umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual, sedangkan umanya mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.

Suatu hari, Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia mendengar jeritan seseorang meminta tolong. Andung segera berlari menuju arah suara itu. Ternyata, didapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon. Andung segera menolong dan mengobati lukanya. “Terima kasih banyak, anakku!” kata orang tua itu. Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. “Hanya benda ini yang dapat kai berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini membawa keberun¬tungan bagimu,” ucap kakek itu seraya mengulurkan sebuah kalung kepada Andung. Setelah mengobati kakek itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Andung menceritakan kejadian tadi kepada umanya. Usai bercerita, Andung menyerahkan kalung pemberian kakek itu sambil berkata, “Uma, tolong simpan kalung ini baik-baik”. Umanya menerima dan memerhatikan benda itu dengan saksama. “Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh indah!” kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung tersebut di bawah tempat tidurnya.

Kehidupan terus berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat termenung seorang diri. “Ya Tuhan, apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik daripada hari ini. Tapi…bagaimana caranya?” kata Andung dalam hati. Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Andung untuk pergi merantau. “Hmm…lebih baik aku merantau saja. Dengan begitu aku dapat mengamalkan ilmu pengobatan yang telah aku peroleh dari abah dulu. Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku,” gumam Andung dengan semangat. Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak langsung ia utarakan kepada umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi merantau, tinggallah umanya sendiri. Tetapi, jika ia hanya mencari kayu bakar dan bambu setiap hari, lalu kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran itulah yang ada dalam benaknya.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Keraguannya untuk meninggalkan umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari, ia pun mengutarakan maksud hatinya kepada umanya. “Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Oleh karena itu, Andung mohon izin dan doa restu, Uma,” kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian umanya. “Anakku, sebenarnya Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Tetapi, jika keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma akan melepas kepergianmu,” sahut Uma Andung memberikan izin.

Setelah mendapat restu dari umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya. “Andung ..., ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan Yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali,” kata sang Uma dengan sedihnya.

Mendengar nasihat umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. “Andung, bawalah kalungmu ini. Siapa tahu kelak kamu memerlukannya,” ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah menerima kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium tangan umanya, lalu umanya membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana haru pun meliputi hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air mata menyucur dari kelopak matanya, jatuh di atas pundak Andung. “Maafkan Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil,” kata Andung memberi harapan kepada umanya. “Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini,” jawab Uma penuh harapan. Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. “Segeralah berangkat Andung, agar kamu tak kemalaman di tengah hutan.”

Andung mencium tangan umanya untuk terakhir kalinya, lalu pamit. Andung berangkat diiringi lambaian tangan Uma yang sangat dikasihinya. “Selamat jalan, anakku. Jangan lupa cepat kembali,” teriak Uma dengan suara serak. “Tentu, Uma!” sahut Andung sambil berjalan menoleh ke arah umanya. “Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat tinggal! Uma baru beranjak dari tempatnya setelah Andung yang sangat disayanginya hilang di balik pepohonan hutan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung sendirian di tengah hutan belantara.

Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman didapat. Ia juga telah mengobati setiap orang yang memerlukan bantuannya.

Suatu siang yang terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan koreng dan bisul. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut Andung mengetahui jika Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit kulit. Karena berhutang budi kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terjangkit penyakit berdatangan ke rumah orang tua itu untuk berobat kepada Andung. Seluruh penduduk yang telah diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri.

Suatu hari, berita kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja Basiang. Sang Raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk mengobati putrinya. Beberapa lama kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub melihat keindahan bangunan istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana yang dihiasi ratna mutu manikan. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. “Salam sejahtera, Tuanku,” sapa Andung kepada Baginda.

Sang Raja menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian menyampaikan maksudnya kepada Andung. “Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua minggu tergolek tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Apakah kamu bersedia menyembuhkan putriku?” tanya sang Raja. “Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun Paduka,” kata Andung merendah.

Andung pun dipersilakan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walupun pucat pasi, wajah sang Putri tetap memancarkan sinar kecantikannya. “Aduhai, cantik sangat sang Putri,” ucap Andung menaruh hati kepada sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai panik. Tiba-tiba, hati Andung tergerak untuk mengambil kalung pemberian kakek yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana agar disiapkan air dalam mangkuk. Setelah air tersedia, lalu Andung segera merendam kalungnya beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, lalu ia percikkan beberapa kali ke mulut sang Putri. Tak berapa kemudian, sang Putri pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar kembali. Akhirnya, Putri dapat bangkit dan duduk di pembaringan.

Semua penghuni istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai Atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria merayakannya. Putri tampak berbahagia menerima Andung sebagai suaminya. Demikian pula Andung yang sejak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia.

Minggu dan bulan terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.

Setibanya di Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke daerah Loksado untuk mencari sebatang pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya Andung, karena pohon kasturi itu berada tepat di depan rumahnya dulu. Andung segera mengajak hulubalang dan para prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan umanya.

Mendengar keributan di luar rumahnya, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seok menuju ke arah rombongan tersebut. “Andung..., Andung Anakku...!” suara nenek tua yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar rombongan Andung.

Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu ditinggalkannya sudah tua renta. Karena malu mengakui sebagai umanya, Andung membentak, “Hai nenek tua! Aku adalah raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal dengan nenek renta dan dekil sepertimu! ujar Andung kemudian memalingkan muka dan pergi.

Hancur luluh hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek tua yang malang itu pun berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu,” tua renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum kering air liur tua renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup menghempas keras. Tak lama kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung berteriak dengan keras, “Maafkan aku, Uma...!” Tapi siksa Tuhan tak dapat dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.

Sejak itu, penduduk di sekitarnnya menamai gunung tempat peristiwa itu terjadi dengan sebutan Gunung Batu Bangkai, karena batu yang mirip bangkai manusia itu berada di atas gunung. Gunung Batu Bangkai ini dapat dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. (SM/sas/8/7-07).

Lanting : rakit kecil.
Uma : ibu
Kai : kakek
Abah : ayah

Kamis, 02 Juli 2009

Setangkup Problematika Sastra Anak Imdonesia

By: Mochammad Asrori

Secara umum bacaan anak-anak sekarang pasti tak lepas dari komik. Tak bisa dielakkan, daftar buku terlaris anak pada jaringan toko buku terkemuka menunjukkan golongan buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney-lah yang sering kali tampak di pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya. Benarkah? Lalu di mana ya buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri?
Sastra anak sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun karena berpatok kaku pada tataran ini banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, tidak berkembang, terlebih lagi unsur didaktik yang kuat menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia tidak banyak pemerhati sastra anak. Sastra anak adalah sastra yang tersisihkan, jarang ada peneliti yang memperhatikan. Jika kita mau menengok, hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka-mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi.
Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku picture book terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa islami dari Mizan. Picture book (buku cerita bergambar) banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Anak sejak usia dini mulai dikenalkan mengenai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dll.
Tapi ada juga yang menggunakan picture book sebagai media mengenalkan hitungan, abjad, warna, ukuran, alam semesta, ruang angkasa, tumbuhan, binatang, dll. Beberapa buku juga ada yang tanpa huruf (wordless picture book) yang berguna mengasah anak berbahasa dengan menciptakan ceritanya sendiri menurut pengertiannya mengenai gambar.
Kemudian pada periode lanjutan biasanya disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya. Baru di sekolah mereka mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah, itupun tidak banyak, dari sekitar 2000 hingga 8000 koleksi sekolah, paling kurang dari 60 yang merupakan cerita rakyat. Jika tidak melalui membaca, biasanya anak-anak mengenal cerita rakyat melalui dongeng oleh guru atau orang tua mereka, dan cerita favorit yang biasa diberikan biasanya tak luput dari Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinat dari bacaan terjemahan. Kenyataannya memang penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Jadilah kita tamu di negeri sendiri. Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), delapan judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, enam judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, tiga judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin.
Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang ada 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, enam judul Seri Kembar, tiga judul Seri Sirkus, enam judul Seri Mallory Towers, dan tiga judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul dipermukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres. Tentu saja dibandingkan dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut jauh di bawah. Karya-karya terjemahan tersebut muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah dengan tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi.
Bahkan siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini nampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang biasa saja mutunya tapi gemanya sudah ke mana-mana.
Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan. Penerbit mizan juga memelopori terbitan serial Kecil-Kecil Punya Karya, walaupun hasilnya bisa dibilang children writing namun cukup efektif mengasah bakat-bakat menulis pada anak.
Pada periode 70 dan 80-an dikenal karya-karya dengan tema toleransi, keragaman budaya, arti perdamaian, dan sadar persamaan gender melalui pengarang-pengarang senior, seperti Suyadi, Alm. Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Alm. Suyono, Dwianto Styawan. Tentu saja sudah banyak yang terlupakan. Namun kiranya karya-karya yang penuh humor, tidak berkhutbah, penuh ketrampilan menggunakan bahasa yang terkadang penuh suspens dan taburan fantasi, menyebabkan karya-karya mereka dapat dimodifikasi menjadi karya kreatif lain, semisal drama radio, drama panggung, dan mendongeng.
Pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini adalah Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs.
Bukan cuma itu, sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales.
Kini dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini jadi demikian berat, karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat.
Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Conggress (Amerika) di mana telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama.
Namun yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.
Rasanya para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan buku cerita rakyat (2001), antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru, apalagi dengan sampul hard cover dan dwibahasa, cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.
Mari berbenah sastra anak Indonesia.

Entri Populer