Sudah satu tahun yang lalu saya rasakan racikan kopi Aceh langsung di Banda Aceh. Kopi dengan aroma yang menggoda ini diracik langsung di depan mata. Segelas kopi ini mampu menghipnotis penggemarnya untuk duduk bersama dikedai kopi sebelum berangkat kerja atau untuk menghilangkan lelah setelah seharian bekerja. Satu kedai kopi di sana dipenuhi puluhan orang dengan tujuan sama minum kopi, tetapi topik pembicaraan berbeda-beda sehingga kedai kopi ini terlihat seperti orang menikmati kopi dengan “egonya” masing-masing. Saya juga sering rasakan racikan kopi dari acil-acil di warung-warung pinggir jalan atau racikan djulak-djulak di pasar dengan rasa yang berbeda-beda
Nah, beberapa hari yang lalu saya nikmati kopi yang berbeda. Saya di undang teman kantor untuk menikmati Kopi dari kedai kopi kecil dipinggiran kota Banjarbaru. Sungguhan kopi yang berbeda diracik di kedai komunitas Jempol Merdeka ini. Apanya yang berbeda? Kopinya sama saja tetapi racikan suasana yang berbeda. Kedai kopi yang kecil dimake up sedemikian rupa menyerupai suasana “ngedeso” dan ditambah dengan rimbun pepohonan yang menggambarkan ngopi itu back to nature.
Bukan itu saja yang membuat saya puas menikmati sungguhannya. Mereka menyungguhkan kedai kopi sebagai tempat diskusi. Kedai yang dilengkapi dengan berbagai bahan bacaan ini mengadakan diskusi yang mengangkat permasalahan minat baca. Alfin Mustikawan, M.Pd yang merupakan dosen Universitas Islam Malang menjadi fasilitator pada diskusi kali ini yang pada akhirnya tertarik dan membeli batu permata khas Kalimantan yang saya miliki. Sambil “ngopi bareng” beliau memaparkan bahwa hingga saat ini, berdasarkan survei BPS jumlah persentase masyarakat yang buta huruf tinggal 8%. Data tersebut berbeda dengan data UNESCO yang menyatakan bahwa dari 220 juta penduduk Indonesia, sekitar 34,5% belum bisa membaca, sedangkan sisanya, mereka bisa membaca tetapi memilih untuk tidak menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Program of International Student Assessment (PISA) dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas yang ditulis dalam Republika (4/7/2003), kemampuan membaca anak-anak Indonesia yang berusia 15 tahun (SLTP/SMU/SMK) berada di urutan 39 dari 41 negara. Sebesar 37,6% dari jumlah tersebut hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8% hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan saja.
Sebuah angka yang sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Menurut beliau sebab-sebab yang menimbulkan akibat munculnya rendahnya angka minat baca tersebut dikarenakan metode pengajaran disekolah yang tidak mendukung minat baca anak, fasilitas perpustakaan di sekolah yang kurang memadai, dan gaya hidup remaja sekarang yang hura-hura.
Saya jadi teringat pertama kali menarik minat baca anak didik. Ketika mereka duduk di kelas 2 diberi tugas membawa buku kesayangan, sebagian besar menunjukan buku favorit mereka adalah komik. Maka mulailah menarik minat baca anak melalui komik. Alhamdulillah sekarang penerbit dan pengarang buku anak mulai menyadarinya dengan menerbitkan komik-komik yang bertemakan sains dan teknologi. Tetapi kita jangan lupa untuk tidak meninggalkan komik-komik, cerita-cerita rakyat yang bernilai moral.
Program wajib baca perlu dilaksanakan disekolah-sekolah. Kita memulainya sejak dini kepada anak didik. Saya mewajib baca buku ke peserta didik diterapkan satu bulan sekali. Dengan mengevaluasinya pengetahuan anak tentang buku yang dibacanya diperpustakaan kita tidak hanya mengajarkan baca, tetapi juga kemampuan bicara dan menulis mereka. Kita program ini bergulir satu tahun disekolah, yang saya dapati siswa akhirnya menyenangi buku. Catatan peminjaman buku diperpustakaan meningkat. Bahkan anak yang melahap hampir setiap hari buku di perpustakaan. Sehingga perlu diusulkan lagi penambahan rerferensi buku di sekolah karena semua telah terpinjamkan.
Memang benar pendapat mas Alfi ini tentang perpustakaan. Kebanyakan perpustakan sekolah tidak memiliki pelayanan yang baik. Selain referensi buku yang kurang, perpustakaan sekolah jarang dibuka setiap hari. Karena tidak memiliki pustakawan yang tetap. Gurulah yang merangkap pustakawan tersebut sehingga mempunyai waktu yang terbatas mengelola perpustakaan. Ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Untuk menambah tenaga teknis lainnya di sekolah selain tenaga guru.
Salah satu solusi menarik minat baca juga dengan menyungguhkan kopi seperti kedai ini. Bahkan perpustakaan Banjarbaru berkomitmen membantu kedai-kedai kopi seperti ini, dengan meminjamkan buku koleksinya untuk dibaca para penikmat kopi. Kopi yang berdampingan dengan buku. Sambil ngopi sambil baca buku dan berdiskusi bersama. Ngopi bareng, baca bareng dan diskusi bareng… Ah, tentunya nikmat sekali. Jadi ingat tradisi budaya masyarakat Banjar. Ngopi atau ngeteh bersama di warung dan membicarakan topik permasalahan yang sama. Tetapi hal seperti ini sudah mulai pudar di daerah perkotaan. Saya yakin “warung bubuhannya” di TVRI Banjarmasin mencoba meneruskan kembali budaya ini dimasyarakat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar