Selasa, 12 Oktober 2010

MENGEKSPLOITASI SUMBER CERITA KOMIK

Oleh :Maman S. Mahayana

Sastra adalah karya seni yang memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya. Peristiwa dalam sastra disajikan dalam bentuk deskripsi narasi. Bahasa dalam karya sastra dimaksudkan untuk menggambarkan rangkaian peristiwa yang keseluruhannya membangun cerita.

Berbeda dengan karya sastra, komik adalah karya seni yang memanfaatkan gambar sebagai mediumnya. Gambar menjadi sarana kreator (komikus) untuk menyampaikan ide atau gagasan, kegelisahan, kritik sosial atau bahkan potret zamannya. Oleh karena itu,
tokoh komik seyogianya merepresentasikan harapan dan idealisasi yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Di sinilah, keberhasilan sebuah komik tidak hanya sangat ditentukan oleh kepiawaian komikus dalam menyajikan serangkaian peristiwa melalui gambar-gambar yang secara keseluruhan membangun cerita, tetapi juga dalam hal pemenuhan harapan dan idealisasi tadi terwakili oleh tokoh-tokoh komik yang ditampilkannya. Dalam hal itu, komikus mesti secara sadar menempatkan tokoh komiknya sebagai sosok makhluk superior atau superhero dengan karakter yang superlatif atau tokoh biasa yang mampu menghadirkan kejadian-kejadian luar biasa. Dengan demikian, pemaknaan gambar-gambar penting artinya dalam usaha komikus menempatkan gambar sebagai alat untuk mendeskripsikan peristiwa demi peristiwa dalam rangkaian membangun sebuah cerita. Dengan perkataan lain, gambar-gambar itu digunakan untuk menyajikan sebuah cerita melalui rangkaian peristiwa yang diangkat ke dalam bentuk gambar-gambar.

Meskipun komik menggunakan medium gambar, tak berarti ia meniadakan deskripsi narasi.yang memanfaatkan bahasa. Bagaimanapun juga, ada banyak hal yang mustahil dapat direpresentasikan melalui gambar-gambar. Suasana hati atau perasaan, seperti kegamangan, kecemasan, ketakutan atau kekalutan dan kekacauan pikiran, misalnya, terlalu sulit untuk diangkat ke dalam gambar. Oleh karena itu, mesti ada keterangan yang menyatakan tokoh tertentu dalam gambar sedang mengalami suasana hati tertentu. Jadi, bisa saja keterangan itu berupa monolog tokoh berangkutan atau keterangan yang langsung diberikan komikusnya. Begitu pula, dalam soal dialog antartokoh, komikus terpaksa menggunakan bahasa. Dengan demikian, bahasa dalam komik berfungsi sebagai pendukung untuk memperkuat efek gambar dalam mengangkat peristiwa.

***

Kaitannya dengan gambar sebagai medium komik, maka kepiawaian komikus dalam mengangkat peristiwa ke dalam gambar-gambar, tentu saja merupakan hal yang mutlak perlu dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dilihat dari aspek itu, komikus Indonesia sebagian besar sudah memenuhi tuntutan tersebut. Ganesh Th., Teguh Santosa, Wids, Hans, dan sederetan nama lain, sudah memperlihatkan kecerdasannya dalam mengangkat berbagai peristiwa ke dalam gambar-gambar. Lalu, hal apa saja yang perlu diperhatikan dan dilakukan komikus, agar karyanya tak lekang ditelan zaman? Tema cerita apa saja yang sebaiknya digarap, agar karyanya tetap aktual dan menarik perhatian pembacanya? Langkah apa saja yang dicermati, agar komikus tak kehabisan gagasan dan sumber cerita?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan itu, patutlah kiranya kita mencoba menyimak sejumlah unsur komik yang –sadar atau tidak sadar– seringkali diabaikan para komikus kita.

Pertama, penciptaan tokoh. Seperti telah disinggung di awal pembicaraan ini, gambar merupakan media komik yang berbeda dengan sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Mengingat perbedaan itu, gambaran fisik tokoh komik hadir ke hadapan pembaca sudah dalam bentuk yang lengkap. Pembaca tidak perlu lagi membayangkan gambaran fisik tokoh yang bersangkutan. Komikus juga tidak perlu mendeskripsikannya lagi lewat bahasa.

Konsekuensi atas hadirnya tokoh komik yang sudah dalam bentuk yang lengkap itu adalah kemungkinan hilangnya daya pikat tokoh yang bersangkutan jika ia tampil sebagai tokoh yang sudah dikenal. Tokoh wayang dan para punakawannya, misalnya, adalah tokoh yang sama sekali tidak mengundang daya pikat. Siasat pertama yang perlu dilakukan adalah pemanfaatan cerita. Membaca Mahabarata R.A. Kosasih misalnya, orang lebih tertarik pada kuatnya jalan cerita ketimbang gambaran fisik tokoh-tokohnya. Oleh karena itu, kehadiran tokoh yang sudah dikenal, harus didukung oleh kekuatan cerita. Tanpa itu, pembaca akan segera bosan dan tinggal menunggu waktu saja pembaca mencampakkan komik tersebut.

Persoalannya berbeda dengan penciptaan tokoh-tokoh khas yang lalu menjadi trade mark komikus yang bersangkutan. Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Jaka Sembung, Godam, Bezita, Donald Bebek, Doraemon sampai Shinchan adalah tokoh-tokoh rekaan yang mulanya tidak dikenal. Ketika tokoh-tokoh itu sudah mulai dikenal dan makin akrab dengan pembaca, tokoh-tokoh itu kemudian menjadi ciri khas karya komikus yang bersangkutan. Jika tokoh-tokoh yang sudah dikenal itu, dihadirkan dalam cerita yang sederhana atau cerita biasanya, pembaca tinggal menunggu kebosanannya saja. Oleh karena itu, penekanan pada kekuatan cerita menjadi sangat penting. Di sinilah, komikus harus selalu menampilkan cerita-cerita yang tak lazim, luar biasa aneh, dan selalu tak terduga jalan ceritanya. Hanya dengan itu, kehadiran tokoh-tokoh itu akan tetap menarik, dan komik itupun tidak bakal gampang ditinggalkan pembacanya.

Hal yang juga peting diperhatikan dalam menampilkan tokoh-tokoh komik adalah selain bentuk fisiknya yang khas, unik, dan nyeleneh, juga karakterisasinya mesti superlatif. Ia mesti tampil sebagai superhero dengan kekuatan mendekati dewa. Mengapa begitu? Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan di sini.

1. Mengingat komik menggunakan medium gambar, maka gambar harus memberi ruang yang seluas-luasnya kepada pembaca untuk berimajinasi. Komik-komik percintaan karya Rizal atau Jan Mintaraga, misalnya, hadir tanpa sesuatu yang khas. Tokoh-tokohnya tak lebih sebagai gambaran sosok manusia kebanyakaan. Jadi, tak ada sesuatu yang istimewa. Jika saja gambarnya buruk, ia akan tetap terpajang rapi lantaran tak ada yang mau membaca. Sebaliknya, jika gambarnya bagus, ia juga tinggal menunggu saatnya ditinggalkan pembacanya. Oleh karena itu, jika tokoh-tokoh itu sangat khas, unik, dan nyeleneh, ia akan segera menarik perhatian. Persoalan berikutnya tinggal bagaimana ceritanya juga khas, unik, dan nyeleneh dengan serangkaian peristiwa yang dahsyat dan sangat luar biasa.

2. Penghadiran tokoh-tokoh yang superlatif seperti itu, berkaitan pula dengan selera pembaca. Perlu diperhatikan, bahwa pembaca komik adalah mereka yang sebagian besar berusia di bawah dewasa. Jadi, psikologi anak mestinya menjadi titik perhatian. Penghadiran tokoh-tokoh yang mendekati dewa, penting artinya untuk merangsang imajinasi pembaca. Dalam hal ini, pembaca akan mengidealisasikan dirinya ke dalam karakterisasi tokoh-tokoh seperti itu. Sebaliknya, jika yang tampil adalah tokoh-tokoh yang tidak luar biasa, seperti Donald Bebek atau Shinchan, misalnya, harus ada tokoh antagonis yang karakternya luar biasa jahatnya, luar biasa jeleknya, luar biasa sialnya, dan segala kelakuan yang superlatif. Di samping itu, ceritanya harus menampilkan segala yang tak terduga, penuh kejutan, dan aneh. Jadi, tokoh apapun yang hendak dihadirkan, ia mesti sangat khas, unik, dan nyeleneh.

Kedua, pemanfaatan fakta sejarah. Pemanfaatan fakta sejarah untuk kepentingan komik, tidaklah serta-merta mewajibkan komikusnya menampilkan tokoh-tokoh sejarah. Fakta sejarah hanya sekadar latar peristiwa. Oleh karena itu, komikus bisa saja menampilkan tokoh rekaannya sendiri yang boleh saja lebih hebat dari tokoh sejarah itu sendiri. Perang Diponegoro, Perang Aceh, dan kisah-kisah peperangan lainnya yang begitu banyak tercecer di berbagai daerah, sesungguhnya merupakan lahan yang tak bakal habis untuk kepentingan cerita komik. Jadi, komikus dituntut untuk mempelajari sejarah, jika ia hendak mengangkat cerita komiknya dengan memanfaatkan fakta sejarah.

Jika komikus menampilkan tokoh-tokoh sejarah itu sendiri, seperti Diponegoro, Nyut Nya Dien atau para pahlawan nasional, ia tidak hanya membelenggu dirinya sendiri pada fakta sejarah yang tidak boleh diselewengkan, tetapi juga terikat pada bentuk klise keharusan menyampaikan nilai-nilai kejuangan. Sebagai usaha menyampaikan fakta sejarah dalam bentuk komik, tentu saja cara demikian memberi kontribusinya sendiri. Tetapi, jika komikus secara sadar hendak menciptakaan tokoh dan ceritanya sendiri dengan memanfaatkan fakta sejarah, ia mesti menampilkan sesuatu yang lain, meskipun tetap dengan memanfaatkan fakta sejarah itu sendiri. Jadi, fakta sejarah sekadar latar cerita. Yang muncul adalah peristiwa dan tokoh lain. Cerita silat SH Mintardja, Api di Bukit Manoreh atau serial cerita silat karya Arswendo Atmowiloto, Senopati Pamungkas, misalnya, merupakan contoh, bagaimana latar sejarah dimanfaatkan untuk kepentingan ceritanya.

Pada pertengahan tahun 1960-an, misalnya, banyak sekali muncul komik-komik yang mengambil latar perang kemerdekaan. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam komik-komik itu sama sekali tidak dikenal dalam catatan sejarah. Tetapi, dalam komik itu, mereka hadir dengan semangat kejuangan yang luar biasa. Si Jampang karya Ganesh Th, Jaka Sembung karya Djair, termasuk jenis komik yang seperti itu. Sejauh ini, pemanfaatan fakta sejarah dalam komik Indonesia, belumlah banyak dilakukan para komikus kita. Di sinilah sesungguh-nya komikus kita punya lahan garapan yang masih berlimpah. Persoalannya tinggal, bagaima-na mereka mau memanfaatkannya.

Ketiga, penggalian cerita rakyat. Sama halnya dengan pemanfaatan fakta sejarah, komikus kita, masih belum maksimal melakukan penggalian terhadap cerita-cerita rakyat yang tersebar di pelosok Nusantara. Komik Sangkuriang, Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Timun Emas, dan entah cerita rakyat lain, merupakan contoh kasus, bagaimana cerita rakyat diangkat ke dalam bentuk komik. Dari sejumlah komik itu, kesan kuat yang segera muncul adalah kesetiaan komikus pada cerita aslinya. Dengan demikian, tak ada sesuatu yang baru dalam komik itu, selain bentuk naratif-bahasa, disajikan ke dalam bentuk gambar.

Sesungguhnya, cerita rakyat yang diangkat dalam bentuk komik, termasuk ke dalam apa yang disebut transformasi. Komik yang bersangkutan sudah merupakan penafsiran kedua sebagaimana yang ditangkap komikusnya. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi perubahan di sana-sini, meski ia tidak menyimpang dari alur utamanya. Selain itu, ketika cerita rakyat itu ditumpahkan dalam bentuk gambar, ia sudah mengalami pemaknaan berikutnya. Dengan begitu, ia sudah akan bermakna lain lagi. Adanya pergeseran pemaknaan yang dilakukan komikus tentu saja bukanlah hal yang tabu, jangan pula dimaknai sebagai penyimpangan yang tidak boleh dilakukan. Komikus tentu saja punya hak melakukan itu, bahkan boleh pula mengumbar kreativitasnya sendiri, sejauh tidak meleset jauh dari alur utamanya.

Berkaitan dengan hak melakukan penyimpangan dan mengumbar kreativitas tersebut, dalam banyak komik Indonesia, jarang terlihat keberanian komikus untuk mengolah kembali cerita rakyat secara kreatif. Misalnya, dalam komik Sangkuriang. Peristiwa kejar-mengejar antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi, sesungguhnya menyimpan potensi yang memungkin-kan komikus mengumbar kreativitasnya. Peristiwa itu akan menjadi sangat menegangkan jika komikus pandai mengulur-ulur jalannya cerita. Sebut saja misalnya, manakala selendang Dayang Sumbi dikibaskan ke arah Sangkuriang sebagai usaha menghambat laju lari anaknya itu, Sangkuriang berkelit sedikit. Maka, torelap! Selendang itu pun meluncur deras bagai jilitan halilintar. Jeleleger! Selendang itu menghantam dinding bukit. Seketika, runtuhlah dinding bukit itu. Guluduk-guluduk-guluduk! Ribuan bongkahan bebatuan, menggelinding, menggilas dan menghancurkan apa saja. Sambil berkelit dan menghantami bebatuan yang menerjang ke arahnya, Sangkuriang terus berlari, mengejar Dayang Sumbi.

Ilustrasi tadi, hanyalah sekadar contoh, betapa dalam banyak peristiwa yang terdapat dalam cerita-cerita rakyat, tersimpan begitu banyak potensi yang membuka peluang bagi komikus untuk mengumbar kreativitasnya. Dalam hal ini, sekaligus juga sebagai alat untuk mempertontonkan kepiawaian komikus dalam menyajikan gambar-gambar.

Keempat, transformasi karya sastra. Selain cerita rakyat yang bisa ditransformasikan ke dalam komik, komikus juga dapat melakukannya pada sejumlah karya sastra yang sudah dikenal secara baik oleh masyarakat pembacanya. Katakalah, novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Ada banyak keuntungan melakukan transformasi karya sastra ke dalam komik, seperti misalnya, selain ceritanya sudah dikenal pembaca, juga komikus sekaligus “numpang” popularitas. Tetapi apakah dengan begitu, dapat dianggap merendahkan martabat komikus sendiri? Tentu saja hal itu bergantung pada kemampuan komikus sendiri memanfaatkan berbagai kekosongan yang terdapat dalam novel bersangkutan. Dalam hal itulah, komikus dapat mengumbar imajinasinya dan kreativitasnya secara lebih leluasa. Dalam hal tersebut, tentu saja itu merupakan tantangan bagi komikus untuk menghasilkan karya yang baik. Paling sedikit, penyajian gambarnya harus betul-betul mempesona.

Banyak sekali novel yang baik yang potensial diangkat dalam bentuk komik. Sayang sekali lahan garapan ini hampir tak pernah disentuh para komikus kita. Apakah ada larangan melakukan itu? Tentu saja itu dibolehkan sejauh kita minta izin kepada pengarangnya sendiri atau kepada ahli warisnya, jika pengarangnya sudah meninggal dunia. Jika sejumlah novel atau komik banyak yang diangkat ke dalam film, mengapa novel ke dalam komik, tidak? Jika itu dilakukan oleh para komikus kita, maka cerita-cerita komik Indonesia akan makin beragam dan kaya. Persoalannya tinggal bergantung pada sikap komikus itu sendiri.

Kelima, potret sosial zamannya. Selama ini, peranan dan kontribusi komik dalam kehidupan sosial kita sering kali ditempatkan secara tidak proporsional. Bahkan, tidak jarang pula dipandang dengan nada yang melecehkan. Padahal, komik atau karya seni lainnya, mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama. Komik atau karya seni apapun, mempunyai kotak dan kedudukannya sendiri. Oleh karena itu, tak relevan membandingkan kontribusi komik dengan karya seni lainnya, karena masing-masing mempunyai kotaknya sendiri.

Meskipun demikian, ada kesan bahwa komikus sendiri sering menempatkan dirinya sebagai seniman marjinal, meminggirkan diri dalam kehidupan kesenimanan. Sikap itu tentu saja akan sangat merugikan posisi komikus sendiri dan tempat komik dalam deretan karya seni lainnya. Lalu langkah apa yang perlu dilakukan komikus berkaitan dengan masalah itu?

Sejauh ini, kita melihat bahwa komik-komik Indonesia dijadikan sebagai konsumsi hiburan semata. Sasaran pembacanya sebagian besar usia di bawah dewasa. Apakah mungkin ada komik untuk orang dewasa? Apapun tentu saja mungkin. Salah satu yang menjadikan itu mungkin adalah dengan mencoba mengangkat potret sosial zamannya. Potret yang seperti itu selama ini seringkali direpresentasikan oleh karikatur. Tetapi, karikatur sekadar menyajikan fragmen-fragmen dan tidak membangun sebuah wacana yang lengkap. Oleh karena itu, kinilah saatnya, para komikus memikirkan, bagaimana komik dapat menjadi potret semangat zamannya. Untuk sampai ke arah itu, komikus perlu mengangkat berbagai peristiwa aktual, kontemporer yang menjadi isu nasional. Sebagai contoh, adakah terpikirkan oleh para komikus kita untuk mengangkat peristiwa reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto? Peristiwa lain yang tidak kalah dahsyatnya, sebenarnya bertebaran, seperti kerusuhan Sambas dan Sampit, peristiwa Semanggi I dan II, penembakan mahasiswa Trisaksi, peristiwa Mei dan sederetan peristiwa lain yang semuanya sah-sah saja diangkat ke dalam komik.

Keenam, penciptaan cerita-cerita dahsyat. Dalam sejarah komik Indonesia, memang banyak terdapat usaha komikus untuk menciptakan cerita-cerita dahsyat, peristiwa-peristiwa yang melampaui batas-batas logika. Sayangnya, ada kecenderungan dari komikus sendiri untuk tak menampilkan cerita yang terlalu jauh melampaui batas-batas logika. Justru dalam hal itulah, komik Indonesia selalu kalah bersaing dengan komik asing. Apa hebatnya Kungfu Boy, Rai Thunder Jet atau Dragon Ball? Hakikatnya, cerita dalam komik-komik itu tak jauh berbeda dengan komik lain yang menampilkan peristiwa-peristiwa menakjubkan. Bedanya, komikus Takeshi Maekawa, Johji Manabe atau komiskus Jepang lainnya sangat berani dalam menampilkan tokoh-tokoh supernatural dan dunia entah-berantah. Lalu apa yang menarik?

Ada begitu banyak tokoh bermunculan dalam komik-komik tersebut. Tokoh utama dengan kekuatan dewa, kadangkala dalam beberapa perkelahian harus kalah dahulu melawan berbagai makhluk yang fisiknya luar biasa anehnya. Tak terpikirkan adanya tokoh iblis yang fisiknya menyerupai ular dengan tubuh raksasa, kepada plontos, mata sebesar bola tenis, dan punggung bersisik duri, dan entah apalagi keanehan luar biasa yang terdapat dalam anggota tubuhnya. Tetapi, dengan begitu, ia menjadi sangat khas. Tampilnya makhluk-makhluk aneh itu juga sekaligus merangsang pembaca untuk terpancing mengumbar imajinasinya.

Dengan cara demikian, komik-komik seperti itu tidak cepat membosankan, lantaran selalu ada kekhasan dan kejutan-kejutan. Bahwa cerita-cerita seperti itu sangat disukai anak-anak, karena memang itulah dunianya, dunia yang penuh dengan hayalan dan imajinasi. Oleh sebab itu, komikus mestilah mempunyai keberanian untuk menciptakan cerita-cerita yang mahadahsyat, peristiwa-peristiwa yang melampauai batas-batas logika, dan tokoh-tokoh dengan fisik tak lazim dan tokoh yang hanya ada dalam komik itu sendiri.

Dalam hal penciptaan cerita-cerita dahsyat, komikus Indonesia agaknya masih perlu belajar dari para penulis skenario sinetron yang menampilkan cerita-cerita heroisme anak-anak. Lihat saja sinetron Saras, Gerhana, atau Panji. Kisah-kisah semacam itulah yang justru mengundang daya pikat bagi anak-anak. Dengan cara itu, anak-anak juga dirangsang untuk mengumbar imajinasinya, karena mereka berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dan sekaligus mengidealisasikan tokoh-tokoh itu sebagai superhero.

***

Demikianlah, gagasan untuk mengeksploitasi cerita-cerita komik ini, persoalannya terpulang kembali kepada para komikusnya sendiri. Jika mereka tak mempunyai keberanian untuk nyeleneh, untuk melakukan eksperimentasi, maka mereka akan tetap terpuruk dan komik Indonesia akan tetap berada di bawah bayang-bayang komik asing. Jika saja para komikus itu menyadari, betapa kekayaan cerita Indonesia begitu berlimpah, mestinya komik-komik Indonesia tidak hanya menjadi primadona di negerinya sendiri, tetapi juga menjadi sumber ilham bagi para komikus asing. Komik Indonesia tidak mustahil menjadi komoditas anak-anak warganegara asing. “Nah! Selamat menyeleneh!”


Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com/2010/10/08/mengeksploitasi-sumber-cerita-komik/

Tidak ada komentar:

Entri Populer