Clara Evi Citraningtyas
ABSTRAKDipilihnya suatu cerita untuk dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, mencerminkan sebuah restu yang diberikan bagi cerita tersebut, untuk bisa mewakili menegosiasikan sebuah identitas bangsa kepada anak bangsa. Sebuah cerita, terutama cerita yang dipilih untuk kurikulum sekolah, tidak pernah murni merupakan penceritaan kembali dari cerita aslinya. Cerita versi buku sekolah adalah subjek dari metanaratif pada kurun waktu tertentu, rezim, dan kekuasaan tertentu yang telah disesuaikan isinya untuk menyuarakan ideologi bangsa. Makalah ini membahas cerita naratif yang terpilih untuk dimasukkan ke dalam buku pegangan Sekolah Dasar di Indonesia. Nilai-nilai bangsa apa yang dinegosiasikan lewat cerita-cerita tersebut? Kata Kunci: Peraturan Pemerintah tentang buku pelajaran, buku pelajaran Bahasa Indonesia, cerita anak, identitas nasional.
PendahuluanPantaleo (2001) dan Johnston (2000, 2001) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan medium utama untuk menegosiasikan identitas sebuah bangsa. Oleh karenanya, lewat cerita anak pula identitas nasional dan budaya suatu bangsa dinegosiasikan. Mottier (1999) juga menyebutkan bahwa sejak 150 tahun yang lalu di Swiss, cerita naratif berperan dalam pembentukan kesatuan dan identitas nasional. Bagi anak-anak, ruang kelas adalah tempat dimana negosiasi akan identitas ini dimulai. Dalam History of Ideas Vol. 1 disebutkan bahwa pembentukan identitas Amerika juga dimulai dari kurikulum sekolah. Sebelum dimulainya gerakan ”Amerikanisasi” pada tahun 1915, para pendidik telah mulai memikirkan mengadopsi kurikulum tertentu yang ditujukan untuk meng- ”Amerikanisasi” para imigran. Sepanjang sejarah, identitas dibentuk dan direkonstruksi serta ditransformasikan melalui institusi-institusi semacam sekolah. Berkaitan dengan pemilihan cerita bagi kurikulum sekolah, Apple (1986) menegaskan bahwa budaya dan agenda penguasa atau pemerintah yang menentukan cerita apa yang dianggap penting untuk disampaikan dalam setting sekolah. Pensosialisasian budaya dan agenda tersebut terjadi di sekolah. Sekolah telah menjadi sebuah tempat yang diinstutisionalkan, yang didesain khusus untuk mendidik anak. Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mengajarkan sikap dan pandangan tertentu yang dianggap penting bagi masyarakat, budaya, dan bangsa. Citraningtyas (2004) menemukan sedikitnya tiga perbedaan yang mendasar pada cerita rakyat Malin Kundang yang dikemas untuk buku pegangan Sekolah Dasar kurikulum 1994, bila dibandingkan dengan cerita rakyat yang sama yang beredar di pasaran. Versi Malin Kundang yang digunakan dalam buku Sekolah Dasar diberi judul Malin Kundang Si Anak Durhaka. Modifikasi judul ini mempunyai dampak yang kuat, karena akan mengkatifkan schemata yang berbeda. Dengan didasarkan pada berbagai macam skemata, seseorang bisa melakukan penilaian terhadap seseorang, dalam hal ini si Malin. Namun dengan penambahan ”Si Anak Durhaka”, kebebasan untuk memberi penilaian ini menjadi hilang karena telah diambil alih oleh teks itu sendiri. Siswa tidak lagi mendapat kesempatan lain kecuali untuk mengaktifkan schemata bahwa Malin adalah anak durhaka. Versi Malin Kundang yang dikemas untuk Sekolah Dasar juga melibatkan Tuhan dalam mengutuk Malin. Bahkan ibu Malin tidak menyebutkan bahwa ia mengutuk Malin menjadi batu. Melainkan, sang ibu hanya memohon kepada Tuhan agar menghukum Malin, dan Malin menjadi batu. Hukuman seolah-olah berasal langsung dari Tuhan, dan ini memperkuat fungsi cerita ini dalam mengontrol tingkah laku anak. Selanjutnya, versi Malin Kundang dalam buku Sekolah Dasar menampilkan sang ibu yang tidak berdaya. Sebelum merantau, Malin adalah tulang punggung keluarga yang merawat sang ibu yang selalu sakit-sakitan. Perubahan peran Malin dan sang ibu pada versi ini mencerminkan pengakuan peran gender pada bangsa ini. Meskipun harus tetap dihormati, sang ibu tidak dalam posisi sebagai pencari nafkah utama.Perbedaan mendasar ini menegaskan bahwa cerita yang diberikan di sekolah, berbeda dengan cerita yang tersedia secara bebas di luar sekolah. Cerita versi sekolah digunakan untuk menegosiasikan dan membentuk siswa menjadi warga negara Indonesia sejati. Siswa belajar untuk menerima nilai-nilai tersebut dan kemudian membawa nilai-nilai tersebut ketika mereka menjadi anggota masyarakat. Seperti yang terjadi di banyak negara lain, pemakaian buku pelajaran sekolah di Indonesia juga diatur oleh pemerintah. Dalam hal ini, peraturan terbaru yang mengatur tentang pemakaian dan pengadaan buku pelajaran sekolah adalah Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Pada pasal 1 peraturan tersebut dikatakan:Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.Dengan adanya peraturan Mendiknas seperti tersebut di atas, jelaslah bahwa buku pelajaran sekolah di Indonesia bukanlah buku yang kebetulan dipilih oleh sekolah maupun guru. Buku pelajaran sekolah adalah buku yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga materi, isi, pesan serta formatnya telah memenuhi persyaratan yang dicanangkan oleh pemerintah.Buku apa yang dipergunakan pada pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar di Indonesia, dan cerita apa yang disediakan untuk dibaca oleh anak Indonesia di sekolah mencerminkan nilai-nilai yang direstui oleh bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, pemilihan buku pelajaran dan cerita yang tercantum di dalamnya tidak pernah merupakan suatu kebetulan. Perlu diteliti agenda apa yang dicanangkan pemerintah sehingga menyetujui penggunaan buku-buku dan cerita-cerita tersebut.Makalah ini bertujuan untuk mendata jenis cerita yang direstui oleh negara untuk dimasukkan ke dalam buku acuan pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dalam kurikulum nasional yang terbaru. Kemudian dilakukan analisis terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam cerita-cerita terpilih tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dianalisis untuk menentukan kaitannya dalam pembentukan identitas bangsa Indonesia. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar kelas 1 – 6 yang beredar di pasaran. Buku yang dipilih adalah yang sesuai dengan Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, dan yang isinya sesuai dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan 2006. Buku-buku tersebut ditandai dengan label ”KTSP 2006”, merupakan buku teks, dan bukan buku kumpulan soal. Buku-buku yang dipakai dalam penelitian ini adalah buku-buku terbitan Tiga Serangkai, Yudhistira, Erlangga, Grasindo, dan ESIS.Dari hasil pengamatan peneliti, tercatat ada 505 cerita, puisi dan drama yang terdapat dalam buku pegangan Bahasa Indonesia yang diteliti. Jumlah ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah cerita dalam program kurikulum sebelumnya. Hal ini menggembirakan, karena setidaknya, siswa Sekolah Dasar di Indonesia, mendapat eksposisi yang baik terhadap cerita, puisi dan drama. Namun kita tidak boleh terlalu bergembira sehingga kita terlena olehnya. Meskipun dari segi jumlah, eksposisi terhadap cerita anak sudah cukup menggembirakan, perlakuan terhadap cerita tersebut, masih tidak mendorong anak untuk mencintai sastra. Misalnya saja, siswa kelas 1 SD diminta untuk mengisi titik-titik dalam puisi; dan siswa kelas 5 SD diminta untuk menulis puisi sesuai contoh.Genre Cerita Anak dalam KurikulumSeperti juga karya sastra untuk kaum dewasa, karya sastra untuk anak juga dibagi dalam berbagai genre. Genre sastra anak antara lain adalah: fantasi, cerita tradisional, cerita realisme, fiksi ilmiah (science fiction), cerita non-fiksi, puisi. Cerita-cerita anak yang terdapat dalam buku teks sekolah yang diteliti, dapat dibagi dalam lima genre. Cerita-cerita tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:1. Cerita Tradisional (Fabel dan Cerita Rakyat)2. Cerita Rekaan Anak3. Cerita Real4. Puisi5. DramaJenis cerita tradisional yang terdapat dalam buku teks sekolah dasar yang diteliti adalah jenis Fabel dan Cerita Rakyat. Kedua jenis cerita ini memiliki banyak kemiripan dalam hal penokohan, latar dan tema. Pada uimumnya penokohan dalam fabel dan cerita rakyat bersifat ‘datar (flat)’ atau memiliki satu sifat atau karakteristik yang datar dan tidak berubah sampai akhir cerita. Tokoh yang baik dan tokoh yang jahat sangat mudah diidentifikasi. Dari fabel dan cerita rakyat, kita juga mengenal berbagai stereotipe tokoh. Misalnya, tokoh ibu tiri yang selalu jahat dan buruk rupa, kancil yang senantiasa cerdik, putri raja yang cantik jelita, dan pangeran yang gagah perkasa.Latar cerita rakyat dan fabel merupakan latar ’backdrop’, yang artinya bahwa alur cerita ini tidak akan berubah seandainya latar cerita berubah. Oleh karena itu, suatu cerita berlatar backdrop bersifat fleksibel, luwes, tidak terpaku pada satu masa dan tempat. Baik latar waktu maupun latar tempat dalam fabel dan cerita rakyat biasanya berupa latar backdrop: ”Pada suatu hari.......”, ”Pada suatu masa......”, ”Once upon a time......”. Cerita yang berlatar backdrop seperti ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.Tema dalam fabel dan cerita rakyat, sama-sama bersifat didaktis. Fabel, yang menggunakan tokoh binatang, merupakan cerita yang secara jelas mengajarkan moral. Moral cerita tersebut biasanya dinyatakan secara jelas, seperti misalnya dalam fabel berjudul Bangau yang Serakah, atau Tidak Membalas Budi ditulis ”siapa bersalah harus mendapat hukuman” pada akhir cerita. Pesan moral sangat jelas terbaca dari judul dan akhir cerita. Unsur didaktis ini juga jelas terlihat dalam cerita rakyat, baik secara implisit maupun eksplisit. Apabila pesan moral dalam cerita rakyat tidak secara ekspilisit tertulis, penulis seringkali mencantumkan pesan moral cerita di akhir cerita.Selain cerita tradisional, jenis cerita yang terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar adalah cerita rekaan. Meskipun cerita rekaan seharusnya lebih bervariasi dalam hal penokohan, latar dan tema dibandingkan dalam fabel dan cerita rakyat, namun cerita rekaan yang dimuat dalam buku pegangan siswa Sekolah Dasar di Indonesia, adalah cerita-cerita yang sarat memuat pesan moral. Cerita anak memang sarat dengan pesan moral. Riris K. Sarumpaet (2002) yang mengamati cerita anak yang terbit di Indonesia pada tahun 1998 menemukan bahwa hampir semua buku cerita anak tersebut memuat pesan moral yang mengarah pada pembentukan manusia Pancasilais sesuai yang digariskan dalam P4. Cerita-cerita tersebut sangat kentara memuat tema-tema yang dicanangkan pemerintah seperti tema anti komunisme seperti yang dicanangkan pada Sila Pertama Pancasila; atau pentingnya transmigrasi supaya seluruh daerah di Indonesia mencapai keadilan sosial yang merata seperti yang dinyatakan pada Sila Kelima Pancasila. Contoh-contoh ini membuktikan betapa cerita anak sangat rawan digunakan sebagai kendaraan moral. Maman S. Mahayana (2005) juga mengamati dan mengkhawatirkan kecenderungan sastra yang terbawa hasrat terlalu besar untuk mendidik dan mengabaikan nilai estetika kesastraan. Alison Halliday (1996) menyebutkan hal yang menarik tentang kontrol terhadap anak. ”Anak-anak memang dilahirkan, namun masa kanak-kanak dikonstruksikan.” Peristiwa kelahiran seorang anak memang terjadi secara alamiah, namun masa kanak-kanak selalu merupakan produk dari tuntutan sosial yang kompleks. Biasanya orang tua yang berusaha mengkonstruksikan kembali pengalaman masa lalu mereka sendiri dan menempanya bersama dengan ekspektansi ideal mereka bagi anak-anak, kemudian membentuk konsep ideal mereka tentang masa kanak-kanak. Seorang anak yang baru terlahir ke dunia tanpa daya akan otomatis mendapatkan paket yang disodorkan oleh orang dewasa itu, dan tidak bisa menolaknya.Sebagai kelompok marginal dalam masyarakat kita, anak-anak tidak pernah diletakkan pada posisi sentral. Seringkali, menurut Patricia Holland, anak-anak adalah objek kekuasaan dan kepuasan. Dalam bukunya What is A Child (1992), Holland menulis ”tatapan kita mematrikan anak-anak dalam posisinya, menyesuaikan gambaran mereka untuk memenuhi pola yang diinginkan” (hal. 16). Memang benar bahwa posisi anak-anak selalu ditentukan oleh orang dewasa. Anak-anak dibentuk dan sering didikte untuk menjadi individu sesuai keinginan orang tua. Dengan justifikasi bahwa anak-anak masih membutuhkan bimbingan, berbagai macam kontrol terhadap anak dianggap lumrah. Kontrol terhadap anak ini tercermin pada kentalnya nilai didaktis pada narasi yang disediakan bagi anak Sekolah Dasar di Indonesia, lewat buku pegangan wajib mereka. Nilai didaktis apa saja yang diajarkan melalui cerita yang dimuat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar di Indonesia? Nilai-nilai didaktis umum seperti ajakan untuk menabung, nasihat untuk membantu orang tua, imbauan untuk menghormati sesama, ajaran untuk makan makanan bergizi, dan didikan untuk berbudi pekerti memang terdapat dalam cerita-cerita yang dimuat. Namun makalah ini ingin menyoroti dua tema utama penting yang diajarkan di sana, yakni murka golongan yang kuat dan kebersihan. Murka Golongan yang KuatCerita bertemakan murka seseorang yang kuat banyak terdapat pada cerita yang dikemas dalam buku pegangan Sekolah Dasar. Dalam "Air Mata Kasih Sang Putri" (Ayo Belajar Bahasa Indonesia Kelas 5, hal. 71), diceritakan tentang seorang raja yang mengutuk tujuh anak lelakinya karena tidak mematuhi perintah sang ayah. ”Mereka terlalu banyak bermain dan tidak disiplin”, alasan sang raja. Dalam "Asal Mula Pohon Kelapa" (Bahasa Indonesia kelas 3, hal 106) diceritakan tentang seorang laki-laki yang dikutuk menjadi pohon kelapa oleh petapa sakti karena tidak mematuhi pesan petapa sakti untuk tidak membuka kotak hijau. Cerita-cerita semacam ini berpusat pada persoalan kewajiban dan ketaatan pada figur otoritas. Dalam masyarakat Indonesia, kutukan adalah tindakan disipliner yang sering dilakukan, dan sering dimanifestasikan dalam banyak cerita rakyat asal Indonesia. Kita tentu mengenal cerita Malin Kundang, Tangkuban Perahu, Roro Jonggrang yang berakhir dengan kutukan. Selain kutukan yang banyak terdapat pada cerita wayang, Citraningtyas (2004) juga mencatat ada 12 cerita rakyat Indonesia yang bertema kutukan seperti yang terjadi pada Malin Kundang. Dampak kutukan Malin Kundang ini sangat kuat terasa di Indonesia, sampai-sampai seorang ibu muda pernah menulis dalam kolom Psikologi Kompas bahwa ia telah dikutuk oleh ibunya. Dan sejak itu, hidupnya merana.Kutukan sangat erat berhubungan dengan kekuasaan. Meskipun setiap orang bisa saja mengutuk, namun kekuatan sebuah kutukan ditentukan oleh hirarki superioritas. Hanya mereka yang memiliki kekuatan, baik spiritual, fisik, militer, jurisdikal ataupun parental yang dianggap mampu memberikan kutukan. Oleh karenanya, sosok ayah yang juga raja dan juga sosok petapa sakti dalam kedua cerita di atas, sangat memenuhi syarat sebagai sosok yang bisa mengutuk karena mereka adalah representasi dari figur otoritas.Dalam "Gunung Kelud Meletus" (Aku Cinta Bahasa Indonesia 1B), diceritakan bahwa apabila Gunung Kelud meletus, itu berarti Lembusura sedang murka. Tujuan utama cerita ini juga untuk menekankan kepatuhan pada sosok otoritas. Lembusura adalah representasi dari figur otoritas tersebut, yang tidak boleh dibuat murka agar Gunung Kelud tidak meletus. Diana Mitchell (2003) mengatakan bahwa anak-anak menganggap serius apa yang tertulis dalam buku. Mereka percaya bahwa buku berisikan kebenaran. Apabila mereka membaca tentang anjing dan kucing yang menjadi binatang piaraan, mereka akan menerima kedua binatang tersebut sebagai binatang yang normal dijadikan binatang piaraan. Apabila mereka hanya membaca tentang ibu tiri yang jahat, maka mereka akan percaya bahwa semua ibu tiri adalah jahat. Apabila mereka membaca bahwa hanya orang kulit putih yang menjadi tokoh penting, anak-anak akan menginternalisasi hal tersebut. Oleh karenanya, dari cerita narasi, anak-anak mempelajari tingkah laku dan konsep yang dianggap benar dalam masyarakat. Terutama apabila cerita tersebut diajarkan di sekolah. Cerita tentang murka golongan kuat ini mengajarkan kepada anak-anak Indonesia untuk secara total patuh dan tunduk pada otoritas, apabila tidak ingin mendapat kutukan dan hukuman yang setimpal. Figur otoritas juga perlu dijaga supaya tidak murka agar tidak terjadi bencana besar, bak gunung yang meletus. Anak-anak Indonesia tumbuh dengan pemahaman bahwa sah apabila penguasa dan golongan yang kuat melancarkan kutukan kepada golongan yang lemah.KebersihanDalam cerita yang dimuat pada buku Bahasa Indonesia Sekolah Dasar, tema kebersihan rupanya menjadi perhatian serius. Tema kebersihan juga menjadi tema wajib bagi tiap jenjang kelas.Dalam cerita berjudul Lingkungan Rumah Rima, misalnya, ditulis tentang pentingnya memiliki lingkungan yang bersih Selokan mereka bersihkan. Jalan pun tak lupa mereka bersihkan. Rima senang melihat lingkungan rumahnya. Rima betah tinggal di sana.(Ayo Belajar Berbahasa Indonesia 1B, hal 49).Dalam sebuah cerita rekaan lain, yang berjudul "Ulang Tahun Bu Guru", yang panjangnya hanya tiga paragraf, diselipkan pula pesan moral tentang kebersihan sebagai berikut:Tak berapa lama kemudian, kelas tampak indah dan bersih. Sungguh sedap dipandang mata. Anak-anak merasa puas. (Bahasa Kita Bahasa Indonesia 3A, hal. 124).Masih banyak cerita yang mendidik anak untuk hidup bersih. Dalam buku Bahasa Indonesia Untuk SD dan MI Kelas 2 terbitan Grasindo saja, terdapat sedikitnya delapan cerita yang menekankan pentingnya kebersihan:1. Judul: Rumahku yang Nyaman Pesan Kebersihan: Lingkungan di dalam rumahku yang tertata rapi dan bersih, ….. Aku membersihkannya setiap hari.2. Judul: Hidup yang Bersih Pesan Kebersihan: Keseluruhan tema.3. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Hari ini seluruh warga membersihkan lingkungan. 4. Judul: Tempat Umum Pesan Kebersihan: Di tempat umum kita juga harus menjaga kebersihan. 5. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Kami sekeluarga sangat senang melihat rumah dan lingkungan bersih, indah, dan rapi. 6. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Got di depan rumah dibersihkan agar air mengalir.... Setelah got bersih, mereka membersihkan halaman..... dalam rumah juga dibersihkan. 7. Judul: Pergi Memancing Pesan Kebersihan: Sungai yang sekarang airnya kotor oleh sampah dan limbah yang dibuang di sungai.8. Judul: Makanan yang Menyehatkan Pesan Kebersihan: Minggu pagi yang cerah, Pak Mardi, Bu Sri, Yanto, dan Tita sudah selesai membersihkan rumah dan halamannya. Setelah itu, mereka mencuci kaki dan tangan, lalu mereka makan bersama.Kebersihan tampaknya menjadi fokus penting bagi identitas kita sebagai bangsa. Kita ingin menjadi bangsa yang bersih secara lahiriah, maupun batiniah. Kebersihan lahiriah sering diartikan sebagai pencerminan dari kebersihan batiniah sehingga sangat perlu diusahakan.Konstruksi identitas bangsa melalui diskursus kebersihan bukanlah hal yang asing. Banyak negara juga menerapkan hal serupa. Pada abad 19 Romania, diskursus kebersihan dipakai untuk merekonstruksi identitas wanita Romania. Pada zaman perbudakan, bangsa Amerika juga mengidentifikasikan warganya melalui konsep kebersihan. Warga kulit hitam dengan kekotoran dan kejorokan; ketidakbersihan. Sedangkan warga kulit putih diidentifikasikan dengan segala hal yang bersih dan indah. Di Indonesia, menjadi bangsa yang bersih adalah merupakan cita-cita bersama: bersih dari narkoba; bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme; bersih dari terorisme; bersih dari tindakan-tindakan asusila.Dalam cerita-cerita bertemakan kebersihan dalam buku sekolah dasar ini, ruang privat diletakkan berhadap-hadapan langsung dengan kontrol publik. Hari ini seluruh warga membersihkan lingkungan. Got di depan rumah dibersihkan..... setelah got bersih, mereka membersihkan halaman....... dalam rumah juga dibersihkan.Kerja bakti adalah kegiatan publik bersama. Seluruh warga terlibat di dalamnya. Dalam cerita tersebut di atas, tampak bahwa kegiatan bersama membersihkan ruang publik ini kemudian bergeser ke ruang privat, yakni membersihkan halaman, dan kemudian dalam rumah. Kontrol publik dalam kegiatan kerja bakti ini merambah pula wilayah privat. Hal ini bisa diartikan sebagai restu yang diberikan kepada publik untuk mengontrol wilayah privat warga masyarakat. Publik diperbolehkan, bahkan didorong untuk ikut bersama-sama membersihkan ruang privat warga masyarakat yang dianggap tidak bersih. Sehingga seorang warga yang didapati melakukan tindakan asusila, misalnya, perlu mendapat perhatian dan kontrol dari publik. Akibatnya, pelaku tindak asusila pun bisa mendapat sanksi publik.Sebagai kegiatan publik bersama, kerja bakti sudah mulai ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, terutama yang tinggal di kota besar. Dari eksposisi topik Kerja Bakti ini, tampaknya pemerintah ingin menggalakkan kembali kegiatan bekerja bakti. Hal ini tampak pada penekanan topik kerja bakti: dalam buku pelajaran kelas 2 di atas kita catat ada tiga cerita berjudul "Kerja Bakti" dalam satu buku dan tema pembahasan; dalam buku pelajaran kelas 3 tercatat ada dua cerita berjudul Kerja Bakti dalam satu buku. Dengan menggalakkan kembali kegiatan bekerja bakti, terselip imbauan akan kembalinya kontrol dari publik kedalam ruang-ruang privat keluarga Indonesia. KesimpulanPenelitian ini menemukan bahwa cerita-cerita yang disajikan dalam Buku Pegangan Bahasa Indonesia, sarat dengan agenda didaktis. Agenda didaktis yang terlalu mencengkeram ini sangat disayangkan, karena akan menjauhkan generasi muda dari menikmati sastra. Bagi orang dewasa, sastra adalah untuk dinikmati. Kita tidak akan melanjutkan membaca sebuah karya apabila kita tidak bisa menikmatinya. Namun mengapa kita abaikan perasaan ini ketika menyuruh anak membaca sastra? Padahal, Hancock (2000) mendefinisikan sastra anak sebagai karya sastra yang ”appeals to the interests, needs, reading preferences of children, and that captures children as its major audience” (hal. 5). Mengapa kita rampas hak ini dari anak? Beberapa agenda didaktis yang penting adalah topik murka golongan yang kuat dan topik tentang kebersihan menjadi topik penting yang dimanifestasikan lewat cerita-cerita sekolah. Topik murka golongan yang kuat seolah hendak mewariskan nilai bahwa murka dan kutuk adalah hak bagi golongan yang kuat. Bahwa golongan lemah, yang diwakili oleh anak-anak, perlu mematuhi segala perintah golongan yang kuat untuk menghindarkan diri dari kutukan tersebut. Bahwa golongan lemah perlu menjaga sikap sedemikian rupa, sehingga golongan yang kuat tidak murka dan mengakibatkan bencana. Topik kebersihan seolah hendak menghimbau kembali untuk menggalakkan kerja bakti, yang memberikan kemungkinan bagi publik untuk mengontrol ruang privat warga negara.Pertanyaannya untuk kita adalah, benarkah kita sependapat bahwa kedua topik tersebut masih tepat untuk diwariskan kepada generasi muda bangsa ini? Menurut Mitchell (2003), cerita memvalidasi anak-anak bahwa hidup mereka normal dan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dan budaya mereka. Melalui sastra, anak-anak diajarkan pada nilai-nilai luhur budaya mereka. Inikah nilai-nilai luhur yang ingin kita wariskan? Daftar Pustaka Apple, M. 1986. Teachers and Texts: A Political Economy of Class and Gender Relations in Education. New York: Routledge & Kegan Paul.Bottingheimer, R., ed. 1987. Grimm’s Bad Girls and Bold Boys: The Moral and Social Vision of the Tales. New Haven: Yale University Press.Butts, D. (ed). 1992. Stories and Society: Children’s Literature in ITs Social Context. London: Macmillan.Citraningtyas, C. E. 2004 Breaking a Curse Silence: Malin Kundang and Transactional Approaches to Reading in Indonesian Classrooms – an Empirical Study. Unpublished thesis. Sydney: Macquarie University. Sydney.Hancock, M. R. 2000. A Celebration of Literature and Response: Children, Books, and Teachers in K-8 Classrooms. New Jersey: Prentice Hall, Inc.Halliday, A. 1996. “Parallel Ideologies: An Exploration of the Ideologies of Childhood and Poetry”, Papers: Explorations into Children’s Literature. . 6,1, 20-30.Holland, P. 1992. What is a Child? London: Virago.Johnston, I. 2000. “Literature and School Studies: Exploring the Hyphenated Spaces of Canadian Identity.” Canadian Social Studies 35.1.Mahayana, Maman. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Bening Publishing, Jakarta.Meek, M. ed. 2001. Children’s Literature and National Identity. Stoke on Trent. Trentham Books.Mitchell, D. 2003. Children’s Literature: An Invitation to the World. Boston: Pearson Education.Pantaleo, S. 2001. “Exploring Canadian Identity through Canadian Children’s Literature”. Reading Online 5.2.Sarumpaet, R.K. 2002. “Sastra dan anak: Penjajah dan Taklukannya.” Bahasastra: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. 17.1 : 47 – 62.
PendahuluanPantaleo (2001) dan Johnston (2000, 2001) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan medium utama untuk menegosiasikan identitas sebuah bangsa. Oleh karenanya, lewat cerita anak pula identitas nasional dan budaya suatu bangsa dinegosiasikan. Mottier (1999) juga menyebutkan bahwa sejak 150 tahun yang lalu di Swiss, cerita naratif berperan dalam pembentukan kesatuan dan identitas nasional. Bagi anak-anak, ruang kelas adalah tempat dimana negosiasi akan identitas ini dimulai. Dalam History of Ideas Vol. 1 disebutkan bahwa pembentukan identitas Amerika juga dimulai dari kurikulum sekolah. Sebelum dimulainya gerakan ”Amerikanisasi” pada tahun 1915, para pendidik telah mulai memikirkan mengadopsi kurikulum tertentu yang ditujukan untuk meng- ”Amerikanisasi” para imigran. Sepanjang sejarah, identitas dibentuk dan direkonstruksi serta ditransformasikan melalui institusi-institusi semacam sekolah. Berkaitan dengan pemilihan cerita bagi kurikulum sekolah, Apple (1986) menegaskan bahwa budaya dan agenda penguasa atau pemerintah yang menentukan cerita apa yang dianggap penting untuk disampaikan dalam setting sekolah. Pensosialisasian budaya dan agenda tersebut terjadi di sekolah. Sekolah telah menjadi sebuah tempat yang diinstutisionalkan, yang didesain khusus untuk mendidik anak. Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mengajarkan sikap dan pandangan tertentu yang dianggap penting bagi masyarakat, budaya, dan bangsa. Citraningtyas (2004) menemukan sedikitnya tiga perbedaan yang mendasar pada cerita rakyat Malin Kundang yang dikemas untuk buku pegangan Sekolah Dasar kurikulum 1994, bila dibandingkan dengan cerita rakyat yang sama yang beredar di pasaran. Versi Malin Kundang yang digunakan dalam buku Sekolah Dasar diberi judul Malin Kundang Si Anak Durhaka. Modifikasi judul ini mempunyai dampak yang kuat, karena akan mengkatifkan schemata yang berbeda. Dengan didasarkan pada berbagai macam skemata, seseorang bisa melakukan penilaian terhadap seseorang, dalam hal ini si Malin. Namun dengan penambahan ”Si Anak Durhaka”, kebebasan untuk memberi penilaian ini menjadi hilang karena telah diambil alih oleh teks itu sendiri. Siswa tidak lagi mendapat kesempatan lain kecuali untuk mengaktifkan schemata bahwa Malin adalah anak durhaka. Versi Malin Kundang yang dikemas untuk Sekolah Dasar juga melibatkan Tuhan dalam mengutuk Malin. Bahkan ibu Malin tidak menyebutkan bahwa ia mengutuk Malin menjadi batu. Melainkan, sang ibu hanya memohon kepada Tuhan agar menghukum Malin, dan Malin menjadi batu. Hukuman seolah-olah berasal langsung dari Tuhan, dan ini memperkuat fungsi cerita ini dalam mengontrol tingkah laku anak. Selanjutnya, versi Malin Kundang dalam buku Sekolah Dasar menampilkan sang ibu yang tidak berdaya. Sebelum merantau, Malin adalah tulang punggung keluarga yang merawat sang ibu yang selalu sakit-sakitan. Perubahan peran Malin dan sang ibu pada versi ini mencerminkan pengakuan peran gender pada bangsa ini. Meskipun harus tetap dihormati, sang ibu tidak dalam posisi sebagai pencari nafkah utama.Perbedaan mendasar ini menegaskan bahwa cerita yang diberikan di sekolah, berbeda dengan cerita yang tersedia secara bebas di luar sekolah. Cerita versi sekolah digunakan untuk menegosiasikan dan membentuk siswa menjadi warga negara Indonesia sejati. Siswa belajar untuk menerima nilai-nilai tersebut dan kemudian membawa nilai-nilai tersebut ketika mereka menjadi anggota masyarakat. Seperti yang terjadi di banyak negara lain, pemakaian buku pelajaran sekolah di Indonesia juga diatur oleh pemerintah. Dalam hal ini, peraturan terbaru yang mengatur tentang pemakaian dan pengadaan buku pelajaran sekolah adalah Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Pada pasal 1 peraturan tersebut dikatakan:Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.Dengan adanya peraturan Mendiknas seperti tersebut di atas, jelaslah bahwa buku pelajaran sekolah di Indonesia bukanlah buku yang kebetulan dipilih oleh sekolah maupun guru. Buku pelajaran sekolah adalah buku yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga materi, isi, pesan serta formatnya telah memenuhi persyaratan yang dicanangkan oleh pemerintah.Buku apa yang dipergunakan pada pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar di Indonesia, dan cerita apa yang disediakan untuk dibaca oleh anak Indonesia di sekolah mencerminkan nilai-nilai yang direstui oleh bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, pemilihan buku pelajaran dan cerita yang tercantum di dalamnya tidak pernah merupakan suatu kebetulan. Perlu diteliti agenda apa yang dicanangkan pemerintah sehingga menyetujui penggunaan buku-buku dan cerita-cerita tersebut.Makalah ini bertujuan untuk mendata jenis cerita yang direstui oleh negara untuk dimasukkan ke dalam buku acuan pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dalam kurikulum nasional yang terbaru. Kemudian dilakukan analisis terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam cerita-cerita terpilih tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dianalisis untuk menentukan kaitannya dalam pembentukan identitas bangsa Indonesia. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar kelas 1 – 6 yang beredar di pasaran. Buku yang dipilih adalah yang sesuai dengan Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, dan yang isinya sesuai dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan 2006. Buku-buku tersebut ditandai dengan label ”KTSP 2006”, merupakan buku teks, dan bukan buku kumpulan soal. Buku-buku yang dipakai dalam penelitian ini adalah buku-buku terbitan Tiga Serangkai, Yudhistira, Erlangga, Grasindo, dan ESIS.Dari hasil pengamatan peneliti, tercatat ada 505 cerita, puisi dan drama yang terdapat dalam buku pegangan Bahasa Indonesia yang diteliti. Jumlah ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah cerita dalam program kurikulum sebelumnya. Hal ini menggembirakan, karena setidaknya, siswa Sekolah Dasar di Indonesia, mendapat eksposisi yang baik terhadap cerita, puisi dan drama. Namun kita tidak boleh terlalu bergembira sehingga kita terlena olehnya. Meskipun dari segi jumlah, eksposisi terhadap cerita anak sudah cukup menggembirakan, perlakuan terhadap cerita tersebut, masih tidak mendorong anak untuk mencintai sastra. Misalnya saja, siswa kelas 1 SD diminta untuk mengisi titik-titik dalam puisi; dan siswa kelas 5 SD diminta untuk menulis puisi sesuai contoh.Genre Cerita Anak dalam KurikulumSeperti juga karya sastra untuk kaum dewasa, karya sastra untuk anak juga dibagi dalam berbagai genre. Genre sastra anak antara lain adalah: fantasi, cerita tradisional, cerita realisme, fiksi ilmiah (science fiction), cerita non-fiksi, puisi. Cerita-cerita anak yang terdapat dalam buku teks sekolah yang diteliti, dapat dibagi dalam lima genre. Cerita-cerita tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:1. Cerita Tradisional (Fabel dan Cerita Rakyat)2. Cerita Rekaan Anak3. Cerita Real4. Puisi5. DramaJenis cerita tradisional yang terdapat dalam buku teks sekolah dasar yang diteliti adalah jenis Fabel dan Cerita Rakyat. Kedua jenis cerita ini memiliki banyak kemiripan dalam hal penokohan, latar dan tema. Pada uimumnya penokohan dalam fabel dan cerita rakyat bersifat ‘datar (flat)’ atau memiliki satu sifat atau karakteristik yang datar dan tidak berubah sampai akhir cerita. Tokoh yang baik dan tokoh yang jahat sangat mudah diidentifikasi. Dari fabel dan cerita rakyat, kita juga mengenal berbagai stereotipe tokoh. Misalnya, tokoh ibu tiri yang selalu jahat dan buruk rupa, kancil yang senantiasa cerdik, putri raja yang cantik jelita, dan pangeran yang gagah perkasa.Latar cerita rakyat dan fabel merupakan latar ’backdrop’, yang artinya bahwa alur cerita ini tidak akan berubah seandainya latar cerita berubah. Oleh karena itu, suatu cerita berlatar backdrop bersifat fleksibel, luwes, tidak terpaku pada satu masa dan tempat. Baik latar waktu maupun latar tempat dalam fabel dan cerita rakyat biasanya berupa latar backdrop: ”Pada suatu hari.......”, ”Pada suatu masa......”, ”Once upon a time......”. Cerita yang berlatar backdrop seperti ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.Tema dalam fabel dan cerita rakyat, sama-sama bersifat didaktis. Fabel, yang menggunakan tokoh binatang, merupakan cerita yang secara jelas mengajarkan moral. Moral cerita tersebut biasanya dinyatakan secara jelas, seperti misalnya dalam fabel berjudul Bangau yang Serakah, atau Tidak Membalas Budi ditulis ”siapa bersalah harus mendapat hukuman” pada akhir cerita. Pesan moral sangat jelas terbaca dari judul dan akhir cerita. Unsur didaktis ini juga jelas terlihat dalam cerita rakyat, baik secara implisit maupun eksplisit. Apabila pesan moral dalam cerita rakyat tidak secara ekspilisit tertulis, penulis seringkali mencantumkan pesan moral cerita di akhir cerita.Selain cerita tradisional, jenis cerita yang terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar adalah cerita rekaan. Meskipun cerita rekaan seharusnya lebih bervariasi dalam hal penokohan, latar dan tema dibandingkan dalam fabel dan cerita rakyat, namun cerita rekaan yang dimuat dalam buku pegangan siswa Sekolah Dasar di Indonesia, adalah cerita-cerita yang sarat memuat pesan moral. Cerita anak memang sarat dengan pesan moral. Riris K. Sarumpaet (2002) yang mengamati cerita anak yang terbit di Indonesia pada tahun 1998 menemukan bahwa hampir semua buku cerita anak tersebut memuat pesan moral yang mengarah pada pembentukan manusia Pancasilais sesuai yang digariskan dalam P4. Cerita-cerita tersebut sangat kentara memuat tema-tema yang dicanangkan pemerintah seperti tema anti komunisme seperti yang dicanangkan pada Sila Pertama Pancasila; atau pentingnya transmigrasi supaya seluruh daerah di Indonesia mencapai keadilan sosial yang merata seperti yang dinyatakan pada Sila Kelima Pancasila. Contoh-contoh ini membuktikan betapa cerita anak sangat rawan digunakan sebagai kendaraan moral. Maman S. Mahayana (2005) juga mengamati dan mengkhawatirkan kecenderungan sastra yang terbawa hasrat terlalu besar untuk mendidik dan mengabaikan nilai estetika kesastraan. Alison Halliday (1996) menyebutkan hal yang menarik tentang kontrol terhadap anak. ”Anak-anak memang dilahirkan, namun masa kanak-kanak dikonstruksikan.” Peristiwa kelahiran seorang anak memang terjadi secara alamiah, namun masa kanak-kanak selalu merupakan produk dari tuntutan sosial yang kompleks. Biasanya orang tua yang berusaha mengkonstruksikan kembali pengalaman masa lalu mereka sendiri dan menempanya bersama dengan ekspektansi ideal mereka bagi anak-anak, kemudian membentuk konsep ideal mereka tentang masa kanak-kanak. Seorang anak yang baru terlahir ke dunia tanpa daya akan otomatis mendapatkan paket yang disodorkan oleh orang dewasa itu, dan tidak bisa menolaknya.Sebagai kelompok marginal dalam masyarakat kita, anak-anak tidak pernah diletakkan pada posisi sentral. Seringkali, menurut Patricia Holland, anak-anak adalah objek kekuasaan dan kepuasan. Dalam bukunya What is A Child (1992), Holland menulis ”tatapan kita mematrikan anak-anak dalam posisinya, menyesuaikan gambaran mereka untuk memenuhi pola yang diinginkan” (hal. 16). Memang benar bahwa posisi anak-anak selalu ditentukan oleh orang dewasa. Anak-anak dibentuk dan sering didikte untuk menjadi individu sesuai keinginan orang tua. Dengan justifikasi bahwa anak-anak masih membutuhkan bimbingan, berbagai macam kontrol terhadap anak dianggap lumrah. Kontrol terhadap anak ini tercermin pada kentalnya nilai didaktis pada narasi yang disediakan bagi anak Sekolah Dasar di Indonesia, lewat buku pegangan wajib mereka. Nilai didaktis apa saja yang diajarkan melalui cerita yang dimuat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar di Indonesia? Nilai-nilai didaktis umum seperti ajakan untuk menabung, nasihat untuk membantu orang tua, imbauan untuk menghormati sesama, ajaran untuk makan makanan bergizi, dan didikan untuk berbudi pekerti memang terdapat dalam cerita-cerita yang dimuat. Namun makalah ini ingin menyoroti dua tema utama penting yang diajarkan di sana, yakni murka golongan yang kuat dan kebersihan. Murka Golongan yang KuatCerita bertemakan murka seseorang yang kuat banyak terdapat pada cerita yang dikemas dalam buku pegangan Sekolah Dasar. Dalam "Air Mata Kasih Sang Putri" (Ayo Belajar Bahasa Indonesia Kelas 5, hal. 71), diceritakan tentang seorang raja yang mengutuk tujuh anak lelakinya karena tidak mematuhi perintah sang ayah. ”Mereka terlalu banyak bermain dan tidak disiplin”, alasan sang raja. Dalam "Asal Mula Pohon Kelapa" (Bahasa Indonesia kelas 3, hal 106) diceritakan tentang seorang laki-laki yang dikutuk menjadi pohon kelapa oleh petapa sakti karena tidak mematuhi pesan petapa sakti untuk tidak membuka kotak hijau. Cerita-cerita semacam ini berpusat pada persoalan kewajiban dan ketaatan pada figur otoritas. Dalam masyarakat Indonesia, kutukan adalah tindakan disipliner yang sering dilakukan, dan sering dimanifestasikan dalam banyak cerita rakyat asal Indonesia. Kita tentu mengenal cerita Malin Kundang, Tangkuban Perahu, Roro Jonggrang yang berakhir dengan kutukan. Selain kutukan yang banyak terdapat pada cerita wayang, Citraningtyas (2004) juga mencatat ada 12 cerita rakyat Indonesia yang bertema kutukan seperti yang terjadi pada Malin Kundang. Dampak kutukan Malin Kundang ini sangat kuat terasa di Indonesia, sampai-sampai seorang ibu muda pernah menulis dalam kolom Psikologi Kompas bahwa ia telah dikutuk oleh ibunya. Dan sejak itu, hidupnya merana.Kutukan sangat erat berhubungan dengan kekuasaan. Meskipun setiap orang bisa saja mengutuk, namun kekuatan sebuah kutukan ditentukan oleh hirarki superioritas. Hanya mereka yang memiliki kekuatan, baik spiritual, fisik, militer, jurisdikal ataupun parental yang dianggap mampu memberikan kutukan. Oleh karenanya, sosok ayah yang juga raja dan juga sosok petapa sakti dalam kedua cerita di atas, sangat memenuhi syarat sebagai sosok yang bisa mengutuk karena mereka adalah representasi dari figur otoritas.Dalam "Gunung Kelud Meletus" (Aku Cinta Bahasa Indonesia 1B), diceritakan bahwa apabila Gunung Kelud meletus, itu berarti Lembusura sedang murka. Tujuan utama cerita ini juga untuk menekankan kepatuhan pada sosok otoritas. Lembusura adalah representasi dari figur otoritas tersebut, yang tidak boleh dibuat murka agar Gunung Kelud tidak meletus. Diana Mitchell (2003) mengatakan bahwa anak-anak menganggap serius apa yang tertulis dalam buku. Mereka percaya bahwa buku berisikan kebenaran. Apabila mereka membaca tentang anjing dan kucing yang menjadi binatang piaraan, mereka akan menerima kedua binatang tersebut sebagai binatang yang normal dijadikan binatang piaraan. Apabila mereka hanya membaca tentang ibu tiri yang jahat, maka mereka akan percaya bahwa semua ibu tiri adalah jahat. Apabila mereka membaca bahwa hanya orang kulit putih yang menjadi tokoh penting, anak-anak akan menginternalisasi hal tersebut. Oleh karenanya, dari cerita narasi, anak-anak mempelajari tingkah laku dan konsep yang dianggap benar dalam masyarakat. Terutama apabila cerita tersebut diajarkan di sekolah. Cerita tentang murka golongan kuat ini mengajarkan kepada anak-anak Indonesia untuk secara total patuh dan tunduk pada otoritas, apabila tidak ingin mendapat kutukan dan hukuman yang setimpal. Figur otoritas juga perlu dijaga supaya tidak murka agar tidak terjadi bencana besar, bak gunung yang meletus. Anak-anak Indonesia tumbuh dengan pemahaman bahwa sah apabila penguasa dan golongan yang kuat melancarkan kutukan kepada golongan yang lemah.KebersihanDalam cerita yang dimuat pada buku Bahasa Indonesia Sekolah Dasar, tema kebersihan rupanya menjadi perhatian serius. Tema kebersihan juga menjadi tema wajib bagi tiap jenjang kelas.Dalam cerita berjudul Lingkungan Rumah Rima, misalnya, ditulis tentang pentingnya memiliki lingkungan yang bersih Selokan mereka bersihkan. Jalan pun tak lupa mereka bersihkan. Rima senang melihat lingkungan rumahnya. Rima betah tinggal di sana.(Ayo Belajar Berbahasa Indonesia 1B, hal 49).Dalam sebuah cerita rekaan lain, yang berjudul "Ulang Tahun Bu Guru", yang panjangnya hanya tiga paragraf, diselipkan pula pesan moral tentang kebersihan sebagai berikut:Tak berapa lama kemudian, kelas tampak indah dan bersih. Sungguh sedap dipandang mata. Anak-anak merasa puas. (Bahasa Kita Bahasa Indonesia 3A, hal. 124).Masih banyak cerita yang mendidik anak untuk hidup bersih. Dalam buku Bahasa Indonesia Untuk SD dan MI Kelas 2 terbitan Grasindo saja, terdapat sedikitnya delapan cerita yang menekankan pentingnya kebersihan:1. Judul: Rumahku yang Nyaman Pesan Kebersihan: Lingkungan di dalam rumahku yang tertata rapi dan bersih, ….. Aku membersihkannya setiap hari.2. Judul: Hidup yang Bersih Pesan Kebersihan: Keseluruhan tema.3. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Hari ini seluruh warga membersihkan lingkungan. 4. Judul: Tempat Umum Pesan Kebersihan: Di tempat umum kita juga harus menjaga kebersihan. 5. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Kami sekeluarga sangat senang melihat rumah dan lingkungan bersih, indah, dan rapi. 6. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Got di depan rumah dibersihkan agar air mengalir.... Setelah got bersih, mereka membersihkan halaman..... dalam rumah juga dibersihkan. 7. Judul: Pergi Memancing Pesan Kebersihan: Sungai yang sekarang airnya kotor oleh sampah dan limbah yang dibuang di sungai.8. Judul: Makanan yang Menyehatkan Pesan Kebersihan: Minggu pagi yang cerah, Pak Mardi, Bu Sri, Yanto, dan Tita sudah selesai membersihkan rumah dan halamannya. Setelah itu, mereka mencuci kaki dan tangan, lalu mereka makan bersama.Kebersihan tampaknya menjadi fokus penting bagi identitas kita sebagai bangsa. Kita ingin menjadi bangsa yang bersih secara lahiriah, maupun batiniah. Kebersihan lahiriah sering diartikan sebagai pencerminan dari kebersihan batiniah sehingga sangat perlu diusahakan.Konstruksi identitas bangsa melalui diskursus kebersihan bukanlah hal yang asing. Banyak negara juga menerapkan hal serupa. Pada abad 19 Romania, diskursus kebersihan dipakai untuk merekonstruksi identitas wanita Romania. Pada zaman perbudakan, bangsa Amerika juga mengidentifikasikan warganya melalui konsep kebersihan. Warga kulit hitam dengan kekotoran dan kejorokan; ketidakbersihan. Sedangkan warga kulit putih diidentifikasikan dengan segala hal yang bersih dan indah. Di Indonesia, menjadi bangsa yang bersih adalah merupakan cita-cita bersama: bersih dari narkoba; bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme; bersih dari terorisme; bersih dari tindakan-tindakan asusila.Dalam cerita-cerita bertemakan kebersihan dalam buku sekolah dasar ini, ruang privat diletakkan berhadap-hadapan langsung dengan kontrol publik. Hari ini seluruh warga membersihkan lingkungan. Got di depan rumah dibersihkan..... setelah got bersih, mereka membersihkan halaman....... dalam rumah juga dibersihkan.Kerja bakti adalah kegiatan publik bersama. Seluruh warga terlibat di dalamnya. Dalam cerita tersebut di atas, tampak bahwa kegiatan bersama membersihkan ruang publik ini kemudian bergeser ke ruang privat, yakni membersihkan halaman, dan kemudian dalam rumah. Kontrol publik dalam kegiatan kerja bakti ini merambah pula wilayah privat. Hal ini bisa diartikan sebagai restu yang diberikan kepada publik untuk mengontrol wilayah privat warga masyarakat. Publik diperbolehkan, bahkan didorong untuk ikut bersama-sama membersihkan ruang privat warga masyarakat yang dianggap tidak bersih. Sehingga seorang warga yang didapati melakukan tindakan asusila, misalnya, perlu mendapat perhatian dan kontrol dari publik. Akibatnya, pelaku tindak asusila pun bisa mendapat sanksi publik.Sebagai kegiatan publik bersama, kerja bakti sudah mulai ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, terutama yang tinggal di kota besar. Dari eksposisi topik Kerja Bakti ini, tampaknya pemerintah ingin menggalakkan kembali kegiatan bekerja bakti. Hal ini tampak pada penekanan topik kerja bakti: dalam buku pelajaran kelas 2 di atas kita catat ada tiga cerita berjudul "Kerja Bakti" dalam satu buku dan tema pembahasan; dalam buku pelajaran kelas 3 tercatat ada dua cerita berjudul Kerja Bakti dalam satu buku. Dengan menggalakkan kembali kegiatan bekerja bakti, terselip imbauan akan kembalinya kontrol dari publik kedalam ruang-ruang privat keluarga Indonesia. KesimpulanPenelitian ini menemukan bahwa cerita-cerita yang disajikan dalam Buku Pegangan Bahasa Indonesia, sarat dengan agenda didaktis. Agenda didaktis yang terlalu mencengkeram ini sangat disayangkan, karena akan menjauhkan generasi muda dari menikmati sastra. Bagi orang dewasa, sastra adalah untuk dinikmati. Kita tidak akan melanjutkan membaca sebuah karya apabila kita tidak bisa menikmatinya. Namun mengapa kita abaikan perasaan ini ketika menyuruh anak membaca sastra? Padahal, Hancock (2000) mendefinisikan sastra anak sebagai karya sastra yang ”appeals to the interests, needs, reading preferences of children, and that captures children as its major audience” (hal. 5). Mengapa kita rampas hak ini dari anak? Beberapa agenda didaktis yang penting adalah topik murka golongan yang kuat dan topik tentang kebersihan menjadi topik penting yang dimanifestasikan lewat cerita-cerita sekolah. Topik murka golongan yang kuat seolah hendak mewariskan nilai bahwa murka dan kutuk adalah hak bagi golongan yang kuat. Bahwa golongan lemah, yang diwakili oleh anak-anak, perlu mematuhi segala perintah golongan yang kuat untuk menghindarkan diri dari kutukan tersebut. Bahwa golongan lemah perlu menjaga sikap sedemikian rupa, sehingga golongan yang kuat tidak murka dan mengakibatkan bencana. Topik kebersihan seolah hendak menghimbau kembali untuk menggalakkan kerja bakti, yang memberikan kemungkinan bagi publik untuk mengontrol ruang privat warga negara.Pertanyaannya untuk kita adalah, benarkah kita sependapat bahwa kedua topik tersebut masih tepat untuk diwariskan kepada generasi muda bangsa ini? Menurut Mitchell (2003), cerita memvalidasi anak-anak bahwa hidup mereka normal dan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dan budaya mereka. Melalui sastra, anak-anak diajarkan pada nilai-nilai luhur budaya mereka. Inikah nilai-nilai luhur yang ingin kita wariskan? Daftar Pustaka Apple, M. 1986. Teachers and Texts: A Political Economy of Class and Gender Relations in Education. New York: Routledge & Kegan Paul.Bottingheimer, R., ed. 1987. Grimm’s Bad Girls and Bold Boys: The Moral and Social Vision of the Tales. New Haven: Yale University Press.Butts, D. (ed). 1992. Stories and Society: Children’s Literature in ITs Social Context. London: Macmillan.Citraningtyas, C. E. 2004 Breaking a Curse Silence: Malin Kundang and Transactional Approaches to Reading in Indonesian Classrooms – an Empirical Study. Unpublished thesis. Sydney: Macquarie University. Sydney.Hancock, M. R. 2000. A Celebration of Literature and Response: Children, Books, and Teachers in K-8 Classrooms. New Jersey: Prentice Hall, Inc.Halliday, A. 1996. “Parallel Ideologies: An Exploration of the Ideologies of Childhood and Poetry”, Papers: Explorations into Children’s Literature. . 6,1, 20-30.Holland, P. 1992. What is a Child? London: Virago.Johnston, I. 2000. “Literature and School Studies: Exploring the Hyphenated Spaces of Canadian Identity.” Canadian Social Studies 35.1.Mahayana, Maman. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Bening Publishing, Jakarta.Meek, M. ed. 2001. Children’s Literature and National Identity. Stoke on Trent. Trentham Books.Mitchell, D. 2003. Children’s Literature: An Invitation to the World. Boston: Pearson Education.Pantaleo, S. 2001. “Exploring Canadian Identity through Canadian Children’s Literature”. Reading Online 5.2.Sarumpaet, R.K. 2002. “Sastra dan anak: Penjajah dan Taklukannya.” Bahasastra: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. 17.1 : 47 – 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar