oleh :D. Dudu AR
Guru SDN. Perumnas 1 Cisalak Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya Jawa Barat Pimpinan Pondok Media (Citizen Journalism Forum)
Tidak salah, jika para kritisi sastra mempertanyakan peranan guru terhadap perkembangan sastra di sekolah. Hal ini dibuktikan, kurangnya kompetensi guru dalam kesusastraan.
Khususnya guru di sekolah dasar, yang memiliki bejubel peranan sebagai : administrator, pengajar semua mata pelajaran, ekstrakurikuler, dlsb. Jangankan memikirkan sastra, banyak hal yang membuat mereka sering tidak fokus mengelola pembelajaran. Oleh sebab itu, sastra di sekolah dasar kurang berkembang.
Sementara, untuk memupuk generasi masa depan yang sadar dan menjadi pelaku sastra di negeri tercinta ini adalah siswa-siswi sekolah dasar. Pada kenyataannya, mereka disuguhi pembelajaran yang kaku; membaca puisi, menulis puisi, mendengarkan prosa, tanpa larung berdiskusi atau mengajak menela’ah secara baik dan benar.
Sehingga dalam prosesnya, mereka gampang jenuh dan cenderung tidak berminat mengikuti pembelajaran sastra. Meskipun kurikulum tingkat satuan pendidikan sudah dirancang sedemikian rupa – sebagai petunjuk bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar – tetap saja kurang memberikan kontribusi yang cukup – untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di sekolah.
Pembentukan sikap siswa-siswi di sekolah dasar merupakan suatu masa yang tepat untuk memberikan bekal kesusasteraan sejak dini.
Hal ini sesuai dengan teori tabularasa (kertas kosong) yang dikemukakan Jhon Locke seorang tokoh empirisme, dalam buku pedagogik (2007 ; 74), diibaratkan sebagai ”tabularasa”, yaitu sebuah meja yang dilapisi lilin, yang digunakan di sekolah dalam rangka belajar menulis.
Artinya, anak ibarat kertas putih yang bisa dicorat-coret oleh pengaruh lingkungan dan manusia dewasa. Sebetulnya, bagi guru sekolah dasar, merupakan waktu yang pas untuk memberikan pemahaman dan pengalaman kepada siswa tentang sastra – yang mampu membentuk karakter siswa – berbudaya dan beretika.
Kaitan dengan kemampuan guru sekolah dasar dalam kesusastraan, memang sangat menyedihkan. Betapa tidak, mereka harus memberikan pembelajaran sastra, sementara kemampuan sastra itu sendiri tidak dimiliki.
Memang, guru sekolah dasar bukan ahli sastra atau sastrawan, setidaknya mereka perlu diberikan seminar atau workshop tentang sastra. Banyaknya peran ganda mereka, membuat konsentrasi dalam memberikan pengajaran terbagi-bagi, ini juga menjadi salah satu faktor penghambat.
Apakah dengan begini, lalu pembelajaran dan pengajaran sastra di sekolah dasar akan kreatif, efektif, dan menyenangkan? Selain kurangnnya seminar atau workshop sastra untuk guru, pihak-pihak terkait juga terkesan kurang respect terhadap perkembangan sastra di sekolah dasar.
Padahal, sastra merupakan cara ampuh membentuk karakter siswa sebagai penerus bangsa yang berbudaya dan beretika. Ironisnya, kenyataan di lapangan – paradoks –dengan tujuan pendidikan nasional.
Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Wajah pendidikan seperti ini, mungkin tidak akan pernah jelita sepanjang guru itu sendiri tidak dibekali kemampuan sastra. Setidaknya, mengadakan seminar ataupun mengadakan bengkel sastra yang direkomendasikan dinas pendidikan ke sekolah-sekolah, kemudian mengundang sastrawan-sastrawan untuk memberikan pengarahan sastra kepada guru-guru sebagai bekal di kelas.
Tindakan seperti itu merupakan langkah yang lebih baik dan aplikatif. Ketimbang berretorika setiap rapat-rapat ataupun berapriori dalam ritus pendidikan selama ini, yang mengharapkan pembelajaran sastra di sekolah berkembang dan maju.
Selama ini, guru sekolah dasar kurang diberdayakan dalam pengembangan sastra di sekolah. Intensitas pengadaan seminar yang minim diikuti oleh guru, juga merupakan alasan guru sekolah dasar gagap terhadap pengajaran sastra.
Bukan perkara mudah, tugas yang diemban guru sekolah dasar, apalagi mengembangkan sastra yang seharusnya dipegang oleh guru ahli bahasa dan sastra. Ini menjadi tugas dinas pendidikan untuk memikirkan solusi yang tepat, dalam kaitan pengembangan sastra di sekolah dasar.
Jika pihak-pihak terkait sadar akan pentingnnya perkembangan sastra di sekolah dasar, mungkin para kritisi sastra tidak lagi mengkambing hitamkan dunia pendidikan, khususnya kepada guru sekolah dasar atas ”kegagalan sastra” selama ini. Betul, sudah seharusnya perkembangan sastra di sekolah dasar merupakan tanggung jawab bersama.
Bukan mencari-cari kesalahan yang tidak sepatutnya disematkan kepada guru. Harus dipikirkan oleh kita semua, baik pemerintah, guru dan sastrawan di negeri ini. Jangan hanya menyalahkan salah satu pihak, agar perkembangannya itu sendiri selaras sesuai dengan tumbuh-kembang generasi kita.
Selain itu, pembagian tugas guru di sekolah dasar harus dikelola oleh pihak-pihak terkait dengan baik, agar tugas mengajar guru tidak tumpang tindih dengan administrasi yang pada kenyataannya mengganggu proses belajar-mengajar.
Salah satunya, mengangkat tenaga kerja seluas-luasnya untuk dijadikan pegawai negeri sipil disetiap sekolah dasar, yang barang tentu harus sesuai dengan kompetensi dan bidangnya masing-masing.
Agar fungsi guru sekolah dasar di kelas, tidak bekerja ke sana ke mari atau harus mempersiapkan berbagai macam persiapan yang bukan kompetensinya.
Kemudian, menggalakan program guru bidang di sekolah dasar, yang harus segera direalisasikan. Bagaimana tidak, satu kelas yang dikelola oleh satu orang guru, merupakan pekerjaan yang sangat muskil menghasilkan murid berkualitas, terutama dalam pembelajaran sastra. ***
sumber : http://www.tribunnews.com/2010/09/01/dilema-guru-mengembangkan-sastra-di-sekolah-dasar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Populer
-
Dahulu kala ada cerita tentang dua kekasih yang mempunyai percintaan yang tragis. Cerita langkapnya sebagai berikut : Mashor adalah pemuda ...
-
Membaca sekilas adalah suatu tipe membaca dangan cara meliputi atau menjelajah bahan bacaan secara cepat agar dapat memetik ide-ide utama. (...
-
KISI-KISI SOAL KELAS VIII Jenjang Sekolah : SMP Kelas/Semester : VIII/2 Mata Pelajaran : Bahas...
-
KISI-KISI PENULISAN SOAL Jenis Sekolah : SMP/MTs Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester ...
-
DOWNLOAD SILABUS & RPP BAHASA INDONESIA BERKARAKTER RPP Bahasa Indonesia SD berkarakter RPP Bahasa Indonesia SD kelas 4 Semester 1 ...
-
Dahulu kala desa Bincau adalah sebuah pelabuhan persinggahan dari pedagang yang menjual barangnya sehingga desa Bincau saat itu sangat rama...
-
Oleh Esther Kartika Membaca Bahasa Membaca memindai, dalam kurikulum 2004, dapat digolong dalam membaca bahasa. Tujuan yang hendak dicap...
-
oleh : www.mbahbrata-edu.blogspot.com A. MENDENGARKAN Mendengarkan ialah mengarahkan perhatian dengan sengaja kepada suatu suara, atau mena...
-
Desa Bincau tentu tidak asing lagi di telinga Anda. Ini adalah tempat rekreasi, tambak ikan untuk makan bersama keluarga. Tentunya wisata ku...
-
oleh : M. Jazuli Rahman, S.Pd Cerita rakyat “Nisan Berlumur Darah” tidak hanya milik masyarakat Martapura, tetapi sudh menjadi milik masyar...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar